Apakah Jalanan Vietnam yang Dipadati Sepeda Motor Siap Tampung Lonjakan Mobil?

CEO Vinfast, Jim Deluca, tampak dalam sebuah wawancara di pabrik Vinfast di Hai Phong, Vietnam, 25 September 2018 (foto: Reuters/Kham)

Apa yang anda peroleh dari kombinasi bintang sepakbola Inggris, pameran otomotif Perancis, dan konglomerat Vietnam? Terdengar seperti sebuah candaan, namun jawabannya adalah VinFast, mobil mewah pertama yang diproduksi di Vietnam.

Mobil baru ini pertama kali diperkenalkan dalam sebuah pameran di Paris pada bulan Oktober dengan bantuan pekerjaan hubungan kemasyarakatan dari bintang sepakbola David Beckham.

Peluncuran kendaraan ini menandakan titik perubahan tidak saja untuk industri manufaktur kendaraan beroda empat Vietnam, namun juga untuk lanskap transportasi di negara komunis itu.

Meskipun populasi sepeda motor di negara itu mendekati satu sepeda motor untuk setiap dua orang, Vietnam langsung mengubah transportasi beroda dua yang menjadi ikon di negara itu ke arah penggunaan mobil.

Hal ini menimbulkan pertanyaan di banyak benak orang: Apakah negara ini siap untuk lonjakan populasi mobil?

Kepemilikan kendaraan beroda empat diharapkan akan meningkat drastis di tahun-tahun mendatang, namun dari gang-gang sempit hingga minimnya jembatan yang memadai, infrastruktur Vietnam yang rapuh tidak disiapkan untuk menampung jutaan kendaraan beroda empat. Mobil juga tidak menjanjikan pengendalian polusi atau kemacetan di negara dengan populasi hampir 100 juta orang. Vietnam khawatir negara itu akan menjadi salah satu tempat terburuk yang dilanda dampak perubahan iklim.

Namun demikian, tetap saja jumlah mobil terus bertambah. Raksasa produsen mobil asal AS, Ford, contohnya, mencetak rekor baru dalam penjualan bulanannya di bulan November, saat perusahaan itu berhasil menjual 3.466 mobil kepada para konsumen di Vietnam. Angka ini mewakili lonjakan penjualan sebesar 44 persen dibandingkan dengan angka penjualan untuk periode yang sama di tahun 2017. Produsen mobil ini baru-baru ini memperkenalkan tiga produk tambahan untuk pasar domestik.

“Segalanya mendekati kenyataan untuk kami menjelang akhir tahun, termasuk serangkaian keberhasilan dalam peluncuran mobil baru,” ujar Pham Van Dung, seorang direktur pengelola untuk Ford Vietnam.

Alasan-alasan pertumbuhan angka penjualan secara keseluruhan adalah adanya perbaikan pendapatan tahunan, selain juga pengurangan pajak. Secara khusus, pemerintah Vietnam mengurangi pajak impor hingga nol persen pada bulan Januari sebagai bagian dari kesepakatan di antara negara-negara ASEAN. Perkembangan ini memperkuat prediksi akan membanjirnya mobil ke Vietnam, karena mobil ini tidak dikenakan tarif apabila diproduksi di Thailand, Indonesia, atau dimanapun di kawasan ini. Tanpa adanya kesepakatan ini, keberadaan tarif akan meningkatkan harga akhir mobil dua kali lipat. Data dari bulan Oktober menunjukkan impor mobil hampir naik dua kali lipat tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu.

Angka pertumbuhan ini menaikkan peluang dari kota-kota terbesar di Vietnam, seperti Hanoi dan Ho Chi Minh City, untuk bernasib seperti Bangkok, Jakarta, atau Manila tidak lama lagi. Negara-negara ASEAN itu mengalami kemacetan yang jauh lebih parah dibandingkan kota-kota besar di Vietnam, meskipun populasinya juga mencapai hampir 10 juta warga. Karena mereka lebih mengandalkan kepada kendaraan beroda empat dibandingkan roda dua, tidak seperti Vietnam.

Transportasi umum dan fasilitas berbagi tumpangan adalah pilihan yang tersedia untuk menekan ledakan jumlah kendaraan. Uber, Lyft, dan Grab menciptakan aplikasi-aplikasi berbagi tumpangan yang menurut mereka dapat menekan angka kepemilikan mobil – dan pada akhirnya kemacetan lalu-lintas – dengan mendorong orang untuk memanfaatkan aplikasi berbagi tumpangan ini.

“Grab berencana untuk bekerja sama dengan para mitra untuk menciptakan jaringan transportasi yang lebih efisien yang dapat mengurangi kemacetan lalu-lintas di kota-kota besar di Asia Tenggara [sehingga] setiap orang dapat meningkatkan mobilitasnya,” ujar pembuat aplikasi yang berbasis di Malaysia dalam sebuah pernyataan.

Apabila warga Vietnam didorong untuk tidak mengemudikan mobilnya sendiri, maka mereka perlu alternatif. Memang benar banyak orang yang memanfaatkan bus sebagai transportasi umum, namun armada bus semakin tua, dan banyak pengemudinya yang tidak berhenti di stasiun-stasiun tertentu atau menolak untuk menghentikan busnya sepenuhnya sehingga penumpang dapat naik dan turun. Sistem kereta bawah tanah direncanakan diluncurkan di Hanoi tahun 2019, namun rekan setaranya di Ho Chi Minh City berulang kali telah berpotensi untuk menghadapi penundaan permanen.

Peningkatan populasi mobil berimplikasi jauh di luar sektor otomotif. Perusahaan pengembang CBRE menyatakan dalam laporannya bulan ini perkembangan yang terjadi telah meninggalkan jejak yang lumayan signifikan dalam pasar properti lokal.

“Dari perspektif real estat, aspek terpenting untuk pergeseran pasdar dan kondisi ekonomi makro adalah meningkatnya permintaan dan perkembangan produksi mobil dalam skala industri,” ujar laporan tersebut. “Malah, telah ada kesepakatan sewa komersial dan industri terkait dengan sektor otomotif dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dengan antisipasi permintaan untuk perpanjangan sewa dalam periode-periode masa yang akan datang.”

Produksi skala industri menjadi sebab dilema utama yang dihadapi para pengambil kebijakan. Di satu sisi, mereka ingin Vietanam untujk mengembangkan industri manufaktur otomotif yang mapan, untuk berkontribusi kepada ekonomi sama seperti Korea Selatan dan Jepang. Di sisi lain, mereka khawatir tentang memburuknya dampak perubahan iklim, akan merusak garis pantai Vietnam yang panjang, mendorong air asin untuk membanjiri delta dan tanah-tanah pertanian, serta membanjiri kota-kota. Meningkatnya populasi mobil, dengan knalpot yang mengeluarkan gas penghasil gas kaca, yang sudah barang tentu tidak akan membantu negara tropis itu untuk menanggulangi dampak perubahan iklim. [ww]