Presiden AS Donald Trump pekan lalu memerintahkan serangan udara untuk menghukum Presiden Suriah Bashar al-Assad atas dugaan serangan senjata kimia di daerah yang dikuasai pemberontak di negaranya sendiri.
Minggu ini, Trump memindahkan posisi kapal induk untuk mengirim pesan kepada pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Kebijakan itu telah membuat banyak orang bertanya-tanya: apakah Trump menjauh dari kebijakan luar negeri "America First" ke arah sikap yang lebih umum?
Baru seminggu yang lalu, Presiden AS Donald Trump membuat janji yang sama dengan yang dilakukannya ratusan kali selama kampanye.
"Saya bukan, dan saya tidak ingin menjadi presiden dunia. Saya presiden Amerika Serikat, dan dari sekarang kepentingan Amerika di atas segalanya."
Tapi dalam seminggu sejak itu, kebijakan Trump yang disebut "America First" itu telah ditantang oleh sejumlah masalah di tempat lain di dunia.
Di Suriah, dugaan serangan senjata kimia telah memaksa Trump untuk meluncurkan serangan udara terhadap pemerintah Bashar al-Assad, sehingga AS semakin terjerumus ke dalam perang saudara yang sudah berlangsung ena, tahun.
Di Asia, kapal induk USS Carl Vinson berlayar menuju Korea Utara untuk memberi pesan kuat kepada pemimpin otoriter Kim Jong-un.
Dan di Gedung Putih, terjadi perombakan. Penasihat utama Trump, Steve Bannon yang nasionalis, digeser dari posisi puncaknya di Dewan Keamanan Nasional. Langkah itu dipuji oleh berbagai tokoh kebijakan luar negeri, beberapa di antaranya bertanya-tanya: apakah Trump bergerak menuju kebijakan luar negeri yang lebih intervensionis?
Tapi keliru bila melihatnya seperti itu, kata Jim Carafano dari Heritage Foundation, yang pernah bekerja dalam tim transisi Trump.
"Saya pikir pada hakekatnya itu bukan sebuah kebijakan luar negeri intervensionis. Apa yang telah ditunjukkan presiden adalah kemauan untuk campur tangan ketika kepentingan AS terdesak," kata Jim Carafano.
Carafano, yang berbicara melalui Skype, mengatakan ini sangat berbeda dengan Presiden Barack Obama, yang kadang-kadang lebih enggan menggunakan kekuatan di seluruh dunia.
Dan juga berbeda dengan Presiden George W. Bush, yang dituduh campur tangan terlalu banyak.
Your browser doesn’t support HTML5
Para pejabat pemerintah Trump mengatakan serangan Suriah itu bukan berarti AS kembali ke kebijakan perubahan rezim.
P.J. Crowley, mantan pejabat departemen luar negeri di bawah pemerintahan Obama yang juga berbicara melalui Skype, mengatakan bahwa itu sikap yang cerdas.
"Presiden Trump terpilih untuk memperbaiki masalah di Amerika. Dia tidak terpilih untuk memperbaiki masalah di Suriah. Dan itulah alasannya Gedung Putih dengan jelas mengisyaratkan bahwa meskipun presiden bersedia untuk mengambil tindakan militer, dia akan terus sangat skeptis untuk melibatkan Amerika Serikat terlalu jauh dalam perang saudara di mana solusi militer tidak ada," kata P.J. Crowley.
Juru bicara kepresidenan Sean Spicer mengatakan langkah-langkah yang diambil selama seminggu terakhir telah dibesar-besarkan oleh media, dan laporan mengenai perombakan di Gedung Putih tidak akurat. "Satu-satunya yang dirombak sekarang adalah Washington," jelasnya. [uh]