"Kami ingin Qatar kembali bergabung dengan negara-negara yang bertanggung jawab."
Tapi Presiden Donald Trump kembali mengecam Qatar, negara kecil dan kaya minyak di Teluk Persia itu karena menjadi "penyedia dana teroris."
Tapi Qatar adalah sekutu strategis Amerika dan pangkalan udaranya al Udeid menjadi pangkalan militer terbesar Amerika di Timur Tengah.
Michael O'Hanlon dari Brookings Institution mengatakan, "Pangkalan itu digunakan oleh pesawat-pesawat tempur yang terbang di atas Irak dan Suriah untuk menjatuhkan bom. Pangkalan itu juga digunakan oleh semua pesawat pengintai yang mencari sasaran dan bagaimana hasil serangan sebelumnya. Pangkalan itu juga digunakan sebagai pusat kontrol dan komando untuk memastikan agar jet-jet amerika tidak bertabrakan dengan jet Rusia atau Suriah dan mengawasi Iran serta negara lainnya."
Menlu Rex Tillerson mendesak Qatar untuk menghentikan pendanaan teroris yang menjadi keprihatinan dan mengatakan negara-negara yang memblokade Qatar harus menghentikannya.
"Blokade itu menghalangi tindakan militer Amerika di kawasan itu dan perang melawan terhadap ISIS," ujarnya.
Pernyataan Tillerson itu tampak bertentangan dengan pernyataan Pentagon yang mengklaim operasi melawan ISIS tidak terimbas oleh pertikaian kawasan itu.
Setelah komentar Tillerson, Pentagon mengeluarkan pernyataan baru yang mengatakan meskipun operasi itu tidak terganggu atau dibatasi situasi tersebut menghalangi kemampuan militer untuk perencanaan jangka panjang.
Pentagon mengatakan punya rencana darurat jika tentara dan pesawatnya harus meninggalkan negara Teluk Persia itu.
Letjen Purnawirawan Thomas Spoehr dari The Heritage Foundation mengatakan, "Kita tidak seperti tahun 2003. Sekarang ada alternatif lain yang tidak tersedia 10 tahun yang lalu."
Tapi analis sepakat bahkan rencana darurat terbaikpun bisa mengganggu operasi melawan teror di kawasan itu karena memindahkan sedemikian banyak orang dan peralatan bisa memakan waktu berbulan-bulan. [my/ii]