Kesuksesan film Wonder Woman di bioskop seluruh Amerika Serikat, membuat pahlawan perempuan ini dipuji sebagai panutan baru bagi anak-anak perempuan dan angin segar dari seksisme yang masih terus berlangsung di Hollywood.
Film ini, yang dibintangi aktris Israel Gal Gadot, mendobrak rekor box-office pada akhir pekan pembukanya, meraup lebih dari $103 juta di Amerika Serikat, sebuah rekor untuk film yang disutradarai oleh seorang perempuan, Patty Jenkins. Rekor sebelumnya dipegang oleh film Fifty Shades of Grey yang disutradarai oleh Sam Taylor-Johnson.
Debat online setelah peluncuran film tersebut mengenai tidak adanya bulu di ketiak pahlawan Amazon tersebut dan kehebohan seputar pemilihannya tahun lalu sebagai duta kehormatan PBB justru menyebabkan mendorong penghasilan box officenya.
Namun kesuksesan film ini lebih dari sekedar permainan pedang dan lemparan lasso oleh seorang wanita perkasa, kata Melissa Silverstein, pendiri Women and Hollywood Blog dan salah satu pendiri Athena Film Festival yang fokus pada perempuan.
'Cerita kami penting'
"Ini seperti menegaskan apa yang dikatakan perempuan selama ini, baik di dalam industri atau di luar industri perfilman, bahwa cerita kami berarti, kami adalah pahlawan dari cerita kami sendiri, kami bisa menendang sebaik orang lain, dan kami setara (dengan laki-laki)," katanya dalam wawancara melalui telepon dengan Thomson Reuters Foundation.
Wonder Woman pertama kali dicetuskan pada 1941 sebagai ikon pemberdayaan perempuan, bahkan muncul sebagai halaman depan perdana majalah feminis Ms. Magazine tiga dasawarsa kemudian.
Tapi penggambaran modernnya dikritik karena penampilannya yang seksi, dengan baju ketat putih-merah-biru.
PBB memecat Wonder Woman kurang dari dua bulan setelah menunjuknya sebagai duta pemberdayaan perempuan setelah penampilannya dikritik dan dianggap menyebarkan pesan yang salah.
Film Wonder Woman menampilkan penampilan awalnya.
"Wonder Woman" adalah satu dari tiga pahlawan buku komik di tahun 1930an dan 1940an yang ceritanya telah diterbitkan terus-menerus, seperti juga Batman dan Superman, menurut professor sejarah Harvard Jill Lepore.
Debut Jenkins disambut meriah
Tapi, film Jenkins tersebut merupakan rilis teatrikal pertama yang dibintangi oleh "Princess of the Amazons" atau Putri dari Amazon. Debutnya di layar lebar disambut dengan baik.
Di New York, penggemar Wonder Woman telah menggalang lebih dari $8,000 dalam enam hari untuk mengirim siswi-siswi SMA untuk menonton pemutaran film itu di Washington, D.C.
Pemutaran film khusus untuk perempuan yang diadakan oleh jaringan bioskop Alamo Drafthouse ludes terjual mulai dari Austin, Texas, hingga New York, yang menjanjikan seluruh keuntungannya akan disumbangkan ke Planned Parenthood, penyedia perawatan kesehatan perempuan.
Silverstein mengatakan film blockbuster ini seharusnya menjadi awal era baru industri film Hollywood yang cenderung mengutamakan karakter dan sutradara film laki-laki.
Tahun lalu, hanya ada 29 persen tokoh utama perempuan dari 100 film Amerika papan atas, menurut Center for the Study of Women in Television and Film di San Diego State University, California.
Di balik layar, hanya ada 7 persen sutradara perempuan yang mengerjakan 250 film domestik papan atas di 2016, menurut studi yang sama.
"Bagi saya, kisah perempuan juga sama menariknya dengan kisah laki-laki," kata Silverstein. [ds/dw]