Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan defisit APBN hingga akhir November 2024 melebar menjadi Rp401,8 triliun atau 1,81 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meskipun terus melebar, Menkeu Sri menyatakan defisit tersebut masih dalam batas aman.
“Untuk total postur saat ini per 30 November adalah tercatat defisit Rp401,8 triliun dibandingkan dengan desain APBN Rp522,8 triliun ini masih lebih kecil yaitu 1,81 persen dari GDP. Karena di dalam APBN desainnya defisitnya adalah 2,29 persen dari GDP,” ungkap Menkeu Sri dalam Konferensi Pers APBN Kita, di Jakarta, Rabu (11/12).
Defisit tersebut disebabkan karena pendapatan negara yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan belanja pemerintah. Menkeu Sri menjelaskan penerimaan negara hingga akhir November mencapai Rp2.492,7 triliun, naik tipis 1,3 persen dari tahun lalu dan sudah mencapai 89 persen dari yang ditargetkan oleh pemerintah.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, belanja sampai akhir November tahun ini sudah mencapai Rp2.894,5 triliun atau 87 persen dari pagu anggaran, naik 15,3 persen dari tahun lalu.
“Pendapatan negara mendapatkan tekanan yang luar biasa sampai Juli-Agustus, pendapatan negara terutama dari pajak dan bahkan bea cuka semenjak tahun lalu itu tekanannya luar biasa. Sehingga untuk mendapatkan positive growth itu juga merupakan sesuatu yang turn around yang kita juga akan sangat harapkan akan terus terjaga momentumnya, ini adalah suatu momen yang cukup positif,” jelasnya.
Meskipun postur total APBN mengalami defisit, tapi keseimbangan primer tercatat surplus Rp47,1 triliun.. "Ini sesuatu yang tetap akan kita jaga, meskipun berat karena banyak tekanan belanja cukup besar, sementara pendapatan baru mau mulai pulih kembali," tuturnya.
Keseimbangan primer yang surplus menandakan utang lama tidak perlu dibayar dengan penarikan utang baru, atau sederhananya tidak ada kebijakan gali lubang-tutup lubang.
Secara keseluruhan, Menkeu Sri menegaskan bahwa kinerja APBN masih dalam tren yang cukup positif walaupun defisitnya meningkat. Mantan managing director Bank Dunia ini juga meyakini pertumbuhan ekonomi tanah air di kuartal-III akan tetap positif karena didukung oleh konsumsi masyarakat yang kuat dan inflasi yang relatif rendah.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Hendry mengungkapkan, defisit APBN pada tahun ini kemungkinan melewati target pemerintah yakni lebih dari 2,2 persen terhadap PDB. Pasalnya, ujar Yusuf, berdasarkan kebiasaan yang ada pemerintah baik pusat maupun daerah selalu menggenjot belanja menjelang akhir tahun.
“Apakah kemudian akan melonjak? Saya melihat peluangnya tetap ada, apabila di akhir tahun ada perubahan terutama terkait dengan realisasi selain belanja, realisasi di sisi pajak. Artinya pajak ini sejak tengah tahun pertumbuhan semakin melambat atau bahkan lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Kalau seandainya pertumbuhan di Desember ini penerimaan pajaknya lebih rendah secara angka lebih dalam dibandingkan tahun lalu maka bukan tidak mungkin dia (defisit) bisa mencapai 2,5 persen,” ungkap Yusuf ketika berbincang dengan VOA.
Lantas kemudian apakah belanja-belanja yang dilakukan oleh pemerintah bisa dikategorikan cukup efisien? Yusuf menjelaskan bahwa hal tersebut harus dilihat sampai akhir tahun untuk mengetahui banyak atau tidaknya sisa pembiayaan anggaran (Silpa).
“Biasanya kalau kita lihat pemda yang kerap kali menjadi semacam pekerjaan rumah, artinya beberapa pemda tidak bisa mengeksekusi belanja padahal kita tahu ketika misalnya pemerintah menyusun anggaran itu kan sudah diperhitungkan semua termasuk misalnya ketika pemerintah menarik pembiayaan melalui penerbitan surat utang. Jadi bahasa sederhananya ketika pemerintah sudah menarik utang baru, tetapi kemudian utang baru itu tidak bisa dieksekusi secara optimal. Jadi itu yang kemudian menurut saya bisa menjadi salah satu indikator terkait bagaimana pemerintah menjalankan efisiensi dalam APBN,” tuturnya.
Sementara itu, ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai defisit yang terjadi hingga November tersebut masih dalam batas aman.. Namun, ia menekankan jika belanja negara terus melonjak pada Desember ini, yang mana biasanya menjadi puncak pengeluaran dari berbagai program pemerintah, maka potensi pelebaran defisit masih akan terjadi.
“Proyeksi realistis menunjukkan defisit bisa mencapai sekitar 2,3-2,6 persen terhadap PDB, tetap di bawah ambang batas tiga persen terhadap PDB sesuai dengan UU APBN. Peningkatan defisit ini mencerminkan pengelolaan fiskal yang mendukung pemulihan ekonomi dan pembangunan, meskipun mengurangi ruang fiskal di masa mendatang,” ungkap Josua melalui pesan singkat kepada VOA.
Secara umum, ujarnya, kondisi fiskal tahun ini masih sehat meskipun belanja pemerintah cukup masif. Pendapatan negara, menurutnya, juga masih tetap tumbuh terutama yang bersumber dari pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), walaupun ada tekanan dari ekonomi global.
“Defisit di bawah batas maksimum (tiga persen dari PDB) menunjukkan disiplin fiskal tetap dijaga. Belanja diarahkan untuk mendukung investasi publik seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang memiliki efek positif jangka panjang. Namun, keberlanjutan fiskal tetap menjadi perhatian, terutama dengan kewajiban pembiayaan defisit melalui utang yang harus dikelola secara hati-hati,” pungkasnya. [gi/ab]