Pemerintahan Presiden AS Joe Biden tampaknya akan memasukkan diskusi mengenai dampak ekonomi internasional akibat invasi Rusia dan kemungkinan rekonstruksi Ukraina sebagai bagian dari agenda KTT G-20 pada November mendatang – gagasan yang kemungkinan akan menyebabkan keretakan lebih lanjut dalam forum ekonomi itu.
“Tidak jarang peristiwa yang berdampak pada komunitas global seperti Ukraina, dan invasi Rusia ke Ukraina, memainkan peran sentral di forum internasional,” ungkap Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki kepada VOA dalam konferensi pers pada Rabu (13/4).
“Pemulihan ekonomi, pembangunan kembali serta rekonstruksi (Ukraina) akan menjadi sesuatu yang melibatkan komunitas global dan diatasi mereka.”
BACA JUGA: AS Belum Berkomitmen untuk Menyelidiki Genosida RusiaMaret lalu, Presiden Biden mengatakan dirinya ingin Rusia dikeluarkan dari kelompok 20 ekonomi terbesar dunia itu, atau justru mengundang Ukraina sebagai pengamat dalam KTT G-20 mendatang di Bali.
“Dimasukkannya Ukraina bukan hanya tentang pertempuran di lapangan. Kita akan perlu membangun kembali Ukraina,” tambah Psaki, mengingatkan bahwa Ukraina telah mengajukan keanggotaan di Uni Eropa, yang merupakan bagian dari G-20.
Menanggapi kritik bahwa tuntutan Barat untuk mengeluarkan Moskow mengganggu agenda KTT dan menciptakan perpecahan dalam kelompok tersebut, Psaki menjawab, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menunjukkan dirinya sebagai “paria di dunia” dan “tidak layak berada dalam forum internasional.”
Menyusul pencaplokan Krimea tahun 2014, Moskow dikeluarkan dari Kelompok Delapan (G-8), yang sekarang dikenal sebagai Kelompok Tujuh (G-7). Namun, G-20 adalah kelompok yang jauh lebih luas dengan lebih banyak kepentingan yang saling bersaing.
Boikot G-20
Biden belum mengatakan dirinya akan memboikot KTT G-20 jika Putin hadir, meski bersikeras bahwa forum itu tidak bisa berjalan “seperti biasanya.” Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga telah menyampaikan keprihatinan mereka terkait keikutsertaan Putin.
Hal itu menempatkan Presiden Joko Widodo, sebagai ketua G-20 tahun ini, dalam posisi yang sulit. Ia harus bersiap menjadi tuan rumah bagi para pemimpin dari 20 ekonomi terbesar dunia ketika, secara teknis, seluruh dunia masih berada dalam kondisi pandemi, dan sedang mengupayakan konsensus tentang masalah ekonomi yang paling mendesak, sambil menavigasi persaingan geopolitik baru yang dipicu oleh perang Putin.
Pemerintah Indonesia mengaku sedang memantau situasi sambil mengawasi pandemi dan penurunan kondisi ekonomi.
"Sebagai pemegang Presidensi G-20, Indonesia terus melakukan diskursus yang konstruktif bersama para anggota G-20," kata Co-Sherpa G-20 Indonesia, Dian Triansyah Djani, kepada VOA. "Kami akan mendengarkan pandangan anggota sambil juga mempertahankan tradisi G-20 dan peran krusialnya sebagai forum kerja sama ekonomi global utama."
Para anggota kekuatan menengah, termasuk India, Brazil, Afrika Selatan, Meksiko, Arab Saudi dan lainnya, memiliki agenda mereka sendiri yang fokus pada pemulihan pascapandemi – tidak selaras dengan fokus Barat untuk mengisolasi Putin dan membantu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
“Itu semua harus dinegosiasikan kembali,” ungkap William Pomeranz, direktur pelaksana Institut Wilson Center Kennan, kepada VOA. “Sebagian besar anggota mereka tidak merasa berkewajiban untuk membangun kembali Ukraina.”
BACA JUGA: Indonesia Serukan Penyelidikan ‘Independen’ atas Dugaan Genosida di Bucha UkrainaGregory Poling, yang meneliti kebijakan luar negeri AS di Asia Pasifik di Center for Strategic and International Studies, mengatakan kepada VOA, meski bisa dipahami bahwa negara anggota G-20 non-Barat tidak ingin pengutukan Rusia mengesampingkan agenda utama, tidak ada kemungkinan sama sekali bagi Biden dan pemimpin Barat lainnya untuk duduk satu meja dengan Putin pada KTT mendatang.
Pada akhirnya, bagi Jakarta, polemik ini bermuara pada apakah mereka bersedia menukar kehadiran Putin dengan ketidakhadiran beberapa pemimpin Barat, kata Poling. Meski diplomat Indonesia lebih menginginkan negosiasi balik-layar ketimbang pernyataan publik para pemimpin Barat, pada titik tertentu ketegangan itu tetap akan muncul ke permukaan.
“Indonesia tidak akan pernah tidak mengundang Vladimir Putin tanpa tekanan yang signifikan, dan tekanan itu harus disampaikan kepada publik, cepat atau lambat,” kata Poling.
Dilema Jakarta
Sebagai kekuatan menengah yang berjuang untuk pulih dari pandemi, Indonesia fokus menggunakan presidensi G-20-nya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi negara berkembang untuk bisa unggul dan menjaga forum itu dari persaingan geopolitik yang dapat meningkatkan ketidakpastian pasar, kata Dinna Prapto Raharja, pendiri lembaga kajian Synergy Policies, kepada VOA.
“Keinginan (Jokowi) terutama untuk memastikan bahwa G-20 akan menjadi forum yang dapat menopang mandatnya, yaitu mandat ekonomi,” ungkapnya. “Kelangkaan barang, konsekuensi dari kenaikan harga energi yang tidak dapat dipertahankan, ketidakmampuan negara berkembang untuk keluar dari krisis COVID-19 – itu semua perlu dijadikan agenda.”
BACA JUGA: Menkeu AS: Rusia Harus Dikeluarkan dari G20, AS Mungkin Boikot Beberapa PertemuanMelibatkan Ukraina sebagai pengamat, seperti saran Biden, akan memperumit masalah karena kepentingan utama Kyiv adalah untuk mengamankan bantuan melawan agresi Rusia, tidak ada hubungannya dengan tujuan G-20, kata Dinna. Namun, Jakarta harus menyiapkan mekanisme tambahan untuk tetap dapat menampilkan pandangan mengenai Ukraina tanpa mengganggu fokus KTT.
Sejauh ini, Jakarta belum mencabut undangan Putin maupun menyetujui saran untuk memasukkan Ukraina dalam agenda G-20. Awal April, juru bicara pemerintah mengatakan bahwa Indonesia masih mempertimbangkan sudut pandang anggota lainnya dan akan terus fokus pada ketiga pilar presidensi G-20, yaitu arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan dan transformasi digital.
Sebagai kelompok informal yang didirikan tahun 1999 setelah krisis ekonomi global, G-20 tidak memiliki mekanisme untuk mengeluarkan anggota, kata Matthew Goodman, ekonom CSIS.
“Kelompok itu tidak memiliki seperangkat aturan formal atau bahkan alasan yang sangat jelas tentang siapa yang ada dalam kelompok itu dan siapa yang tidak,” kata Goodman kepada VOA.
Seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS mengatakan kepada VOA bahwa Amerika akan melanjutkan diskusi dengan mitra G-20, termasuk Indonesia. [rd/rs]
Virginia Gunawan dan Rivan Dwiastono berkontribusi pada laporan ini.