Amerika Serikat (AS), pada Rabu (2/3), mengatakan pihaknya akan mengikuti langkah yang diambil oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dengan mengundang perwakilan non-politik Myanmar, yang saat ini dikuasai oleh pihak militer, ke pertemuan puncak dengan aliansi 10 negara tersebut di Washington DC pada bulan ini.
Presiden Joe Biden berencana menjadi tuan rumah KTT khusus Amerika Serikat dan para pemimpin ASEAN pada 28 dan 29 Maret mendatang.
"Amerika Serikat mendukung keputusan ASEAN untuk mengundang perwakilan non-politik dari Burma pada acara tingkat tinggi ASEAN," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS dengan menggunakan nama lama untuk Myanmar.
BACA JUGA: Isu Myanmar Perkuat Perpecahan ASEAN"Kami juga memutuskan untuk mengundang perwakilan non-politik dari Burma ke KTT (mendatang). Rezim itu gagal membuat kemajuan yang berarti dalam Konsensus Lima Poin ASEAN dan harus dimintai pertanggungjawaban," kata pejabat tersebut.
Pejabat itu tidak menjawab ketika ditanya siapa perwakilan yang diundang nantinya.
Akhir tahun lalu, ASEAN melarang pihak junta yang berkuasa di Myanmar untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan penting karena dinilai gagal menghormati rencana yang disepakati dengan blok tersebut guna mengakhiri konflik di negara yang telah menewaskan ratusan warga sipil, memaksa lebih dari 300.000 orang mengungsi, dan memicu eksodus perusahaan-perusahaan asing.
Sejak itu ASEAN mengundang perwakilan non-politik Myanmar ke beberapa pertemuan, namun junta menolak langkah tersebut dengan alasan bahwa mereka adalah pemimpin sah Myanmar.
BACA JUGA: Dewan Militer Myanmar Dukung Invasi Rusia terhadap UkrainaASEAN belum secara resmi mengakui pemerintahan militer, yang antara lain menjadi sasaran beberapa sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa.
KTT Gedung Putih adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan keterlibatan dengan wilayah yang dianggap penting oleh Washington dalam upayanya untuk melawan kekuatan China yang terus berkembang.
Pemerintahan Biden menyatakan Indo-Pasifik dan persaingan dengan China sebagai fokus utama kebijakan luar negeri, yang ingin dipertahankan meskipun saat ini Rusia tengah menginvasi Ukraina. [mg/rs]