Vaksin COVID-19 buatan Johnson & Johnson sedang di bawah pengawasan lebih jauh oleh otoritas kesehatan pemerintah AS.
Dr. Rochelle Walensky, direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), Senin (19/4) mengatakan lembaganya sedang mencermati berbagai laporan mengenai kasus-kasus efek samping yang parah lainnya yang kemungkinan terkait dengan vaksin satu dosis tersebut.
Walensky mengatakan kepada wartawan di Gedung Putih bahwa CDC gembira karena jumlah kasusnya tidak melimpah tetapi tetap akan mencermatinya.
CDC dan Badan Pengawas Makanan dan Obat AS (FDA) bersama-sama menyerukan penghentian sementara pemberian vaksin Johnson & Johnson pekan lalu setelah enam perempuan yang berusia antara 18 dan 48 tahun mengalami penggumpalan darah yang serius namun langka setelah diimunisasi dengan vaksin tersebut. Seorang perempuan meninggal dan seorang lagi dirawat di rumah sakit dalam keadaan kritis.
BACA JUGA: Dr. Fauci : AS akan Kembali Gunakan Vaksin Johson & JohnsonKeenam orang tersebut termasuk di antara 7 juta orang Amerika yang menerima vaksin tersebut setelah disetujui penggunaannya.
Vaksin Johnson & Johnson hanya merupakan sebagian kecil dari pasokan vaksin AS, tetapi para pakar menyatakan masalah yang muncul mungkin membuat semakin banyak orang yang enggan divaksinasi. Dr. Antony Fauci, kepala Institut Nasional bagi Alergi dan Penyakit Menular, mengatakan ia berharap panel penasihat independen CDC akan mencabut penangguhan itu sewaktu mereka bertemu kembali pekan ini.
Sementara itu, Emergent BioSolutions, pabrik berbasis di Baltimore yang merusak jutaan dosis vaksin COVID-19 Johnson & Johnson, Senin (19/4) menyatakan telah menunda sementara operasi di sana atas permintaan FDA, yang menginspeksi fasilitas itu pekan lalu.
Para pekerja di pabrik Emergent itu mencampur vaksin Johnson & Johnson dengan bahan-bahan dari vaksin virus corona yang dikembangkan AstraZeneca, membuat 15 juta dosis vaksin Johnson & Johnson tidak dapat digunakan.
Hingga Selasa, lebih dari 142,1 juta orang di seluruh dunia telah terinfeksi COVID-19, termasuk lebih dari 3 juta di antaranya yang meninggal, menurut Johns Hopkins Coronavirus Resource Center. [uh/ab]