Presiden Trump menanda-tangani perintah eksekutif bulan lalu untuk membatalkan peraturan tentang perubahan iklim yang disusun di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama. Tindakan itu menimbulkan pertanyaan tentang dukungan Amerika untuk mencapai perjanjian internasional guna melawan pemanasan global.
Sasaran utama perintah eksekutif Presiden Trump itu adalah penghapusan Rencana Pembangunan Pusat-pusat Pembangkit Listrik yang Bersih, yang mensyaratkan semua negara bagian harus mengurangi emisi karbonnya dari pusat-pusat pembangkit listrik batu bara. Ini adalah bagian penting supaya Amerika bisa memenuhi komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai perjanjian Paris yang ditandatangani hampir 200 negara.
Ketika mengadakan konferensi pers untuk menutup konferensi energi kelompok G-7 di Roma, menteri energi dan industri Italia Carlo Calenda mengatakan, Amerika minta waktu untuk meninjau kembali strateginya tentang perubahan iklim dan perjanjian Paris.
“Karena itu," kata Calenda, “kami tidak bisa menandatangani pernyataan bersama yang bisa mencakup semua topik yang terdapat dalam agenda pertemuan.”
Kata Calenda, yang memimpin sidang G-7 itu, semua negara Uni Eropa tetap mempertahankan perjanjian Paris itu untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca.
Kata sumber yang dekat dengan perundingan G-7 itu, ketidak-mampuan menteri energi Amerika Rick Perry untuk memberikan komitmen tegas, jelas menunjukkan betapa terkucilnya Amerika dalam pertemuan tingkat menteri itu.
Presiden Trump menyatakan keraguannya akan perubahan iklim dan ketika melakukan kampanye pemilihan tahun lalu, ia bertekad akan menarik Amerika keluar dari Perjanjian Paris, karena katanya, perjanjian itu akan merugikan bisnis di Amerika.
Sikap itu dikecam oleh kelompok-kelompok pencinta lingkungan, karena berlawanan dengan trend global di mana dunia berusaha untuk menggunakan teknologi energi yang bersih.