Buku ini diharapkan dapat menjadi sebuah pelajaran sejarah yang bisa menjadi panduan untuk calon-calon pemimpin di masa mendatang.
JAKARTA —
Akademisi dan mantan menteri kabinet Muhammmad AS Hikam meluncurkan buku “Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita,” Sabtu (2/11) di Bentara Budaya Jakarta.
Buku setebal 312 halaman itu mengupas beragam kenangan tentang mantan Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, sekaligus wawancara imajiner dan guyonan ala kyai yang akrab dipanggil Gus Dur itu.
Hikam mengatakan sebagai penulis ia ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat seputar sosok Gus Dur dari kedekatannya dengan beliau sejak 1990an sampai ia meninggal pada 2009.
“...Supaya mengedukasi masyarakat mengenai figur atau sosok Gus Dur dari berbagai sisi. Ini penting untuk masyarakat supaya pemikiran beliau, sepak terjang beliau dipahami. Walaupun dengan cara-cara yang mungkin biasa-biasa saja (bahkan) tidak sangat ilmiah, tapi bisa diambil maknanya. Jadi pendekatan saya memang subyektif, tapi juga menggunakan bahan-bahan yang bisa ditelusuri secara empiris,” ujarnya.
Hikam, yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknonologi era Gus Dur, mengatakan tidak mudah untuk memahami seorang Gus Dur tapi ia merasa memiliki kesamaan prinsip seputar demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme dan gerakan anti kekerasan.
“Untuk memahami Gus Dur, memang kadang-kadang tidak mudah. Kadang-kadang orang mengatakan Gus Dur itu orang yang nyeleneh. Kadang-kadang Gus Dur didanggap orang yang konsisten dalam ketidakkonsistenan. Kadang juga dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipahami,” ujarnya.
“Nah itu barangkali ada semua benarnya, karena tergantung dari kapasitas orang. Mungkin ada hal-hal yang tidak saya mengerti atau berlawanan dan berbeda pendapat dengan Gus Dur, tapi sejauh hal-hal yang bersifat prinsip yaitu masalah demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme dan anti kekerasan, saya 100 persen berbagi dengan Gus Dur.”
Sementara itu, mantan Menteri Koordinator Sosial Politik dan Keamanan era Gus Dur, Agum Gumelar mengatakan, Gus Dur saat menjadi Presiden sangat sensitif dengan situasi saat itu terkait dengan ketegangan antara eksekutif dan legislatif.
Namun banyak pemikiran dan gagasan Gus Dur yang baik untuk masyarakat, ujarnya.
“Gus Dur itu seorang yang ketika menghadapi kritikan waktu itu ya belkiau sangat sensitif. Impulsif. Jadi (saat ketegangan) DPR dan eksekutif (tereskalasi), beliau sangat emosional. Dan saya selalu mengingatkan beliau ‘Pak Presiden, please jangan terlalu emosional. Leave it to me. Serahkan pada saya deh biar saya yang menanggapi’,” ujarnya.
“Tapi beliau..itulah, sebentar sadar tapi besokannya..itulah Gus Dur. Tapi beliau tetap bersemangat. Dan banyak pemikiran beliau yang jika dijalankan dengan tidak emosional itu bagus sekali.”
Rohaniwan Romo Franz Magnis Suseno mengatakan, buku ini bisa menjadi sebuah pelajaran sejarah yang bisa menjadi panduan untuk calon-calon pemimpin di masa mendatang.
“Saya kira itu lebih dari buku pelajaran bagi bangsa, (bagi) para calon pemimpin. Saya merasa buku itu disebarkan dalam masyarakat untuk menularkan sesuatu dari keterbukaan dan jeniusnya Gus Dur, ke masyarakat,” ujarnya.
Romo Magnis menambahkan, Gus Dur mempunyai kesamaan dengan mantan Presiden pertama Soekarno, dalam konsistensi melindungi kaum minoritas dan mampu membangkitkan kebanggaan terhadap Indonesia.
Gus Dur adalah Presiden Indonesia yang hanya menjabat selama 21 bulan 3 hari (1999-2001) karena ditumbangkan badan legislatif setelah Gus Dur mengeluarkan dekrit dengan poin utama bubarkan Partai Golkar.
Ia dikenang karena jasanya terhadap kelompok minoritas, salah satunya dengan menetapkan Tahun Baru China sebagai hari libur nasional.
Buku setebal 312 halaman itu mengupas beragam kenangan tentang mantan Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, sekaligus wawancara imajiner dan guyonan ala kyai yang akrab dipanggil Gus Dur itu.
Hikam mengatakan sebagai penulis ia ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat seputar sosok Gus Dur dari kedekatannya dengan beliau sejak 1990an sampai ia meninggal pada 2009.
“...Supaya mengedukasi masyarakat mengenai figur atau sosok Gus Dur dari berbagai sisi. Ini penting untuk masyarakat supaya pemikiran beliau, sepak terjang beliau dipahami. Walaupun dengan cara-cara yang mungkin biasa-biasa saja (bahkan) tidak sangat ilmiah, tapi bisa diambil maknanya. Jadi pendekatan saya memang subyektif, tapi juga menggunakan bahan-bahan yang bisa ditelusuri secara empiris,” ujarnya.
Hikam, yang pernah menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknonologi era Gus Dur, mengatakan tidak mudah untuk memahami seorang Gus Dur tapi ia merasa memiliki kesamaan prinsip seputar demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme dan gerakan anti kekerasan.
“Untuk memahami Gus Dur, memang kadang-kadang tidak mudah. Kadang-kadang orang mengatakan Gus Dur itu orang yang nyeleneh. Kadang-kadang Gus Dur didanggap orang yang konsisten dalam ketidakkonsistenan. Kadang juga dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipahami,” ujarnya.
“Nah itu barangkali ada semua benarnya, karena tergantung dari kapasitas orang. Mungkin ada hal-hal yang tidak saya mengerti atau berlawanan dan berbeda pendapat dengan Gus Dur, tapi sejauh hal-hal yang bersifat prinsip yaitu masalah demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme dan anti kekerasan, saya 100 persen berbagi dengan Gus Dur.”
Sementara itu, mantan Menteri Koordinator Sosial Politik dan Keamanan era Gus Dur, Agum Gumelar mengatakan, Gus Dur saat menjadi Presiden sangat sensitif dengan situasi saat itu terkait dengan ketegangan antara eksekutif dan legislatif.
Namun banyak pemikiran dan gagasan Gus Dur yang baik untuk masyarakat, ujarnya.
“Gus Dur itu seorang yang ketika menghadapi kritikan waktu itu ya belkiau sangat sensitif. Impulsif. Jadi (saat ketegangan) DPR dan eksekutif (tereskalasi), beliau sangat emosional. Dan saya selalu mengingatkan beliau ‘Pak Presiden, please jangan terlalu emosional. Leave it to me. Serahkan pada saya deh biar saya yang menanggapi’,” ujarnya.
“Tapi beliau..itulah, sebentar sadar tapi besokannya..itulah Gus Dur. Tapi beliau tetap bersemangat. Dan banyak pemikiran beliau yang jika dijalankan dengan tidak emosional itu bagus sekali.”
Rohaniwan Romo Franz Magnis Suseno mengatakan, buku ini bisa menjadi sebuah pelajaran sejarah yang bisa menjadi panduan untuk calon-calon pemimpin di masa mendatang.
“Saya kira itu lebih dari buku pelajaran bagi bangsa, (bagi) para calon pemimpin. Saya merasa buku itu disebarkan dalam masyarakat untuk menularkan sesuatu dari keterbukaan dan jeniusnya Gus Dur, ke masyarakat,” ujarnya.
Romo Magnis menambahkan, Gus Dur mempunyai kesamaan dengan mantan Presiden pertama Soekarno, dalam konsistensi melindungi kaum minoritas dan mampu membangkitkan kebanggaan terhadap Indonesia.
Gus Dur adalah Presiden Indonesia yang hanya menjabat selama 21 bulan 3 hari (1999-2001) karena ditumbangkan badan legislatif setelah Gus Dur mengeluarkan dekrit dengan poin utama bubarkan Partai Golkar.
Ia dikenang karena jasanya terhadap kelompok minoritas, salah satunya dengan menetapkan Tahun Baru China sebagai hari libur nasional.