Perwakilan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Korea Utara Sung Kim bertemu dengan perwakilan khusus Korea Selatan Kim Gunn dan Pejabat Senior Kementerian Luar Negeri Jepang Takehiro Funakoshi di Gedung Kedutaan Besar AS untuk Indonesia, di Jakarta, Selasa (13/12). Mereka bertemu guna membahas uji coba rudal yang dilakukan oleh Korea Utara.
Kim menjelaskan, pertemuan untuk membahas permasalahan yang sama telah dilakukan oleh ketiga negara dalam acara KTT ASEAN ke-40 di Phnom Pen, Kamboja, November lalu, yang menandai adanya komitmen kuat dari ketiga negara untuk berdiri bersama-sama dan mempertahankan prinsip dalam menghadapi ancaman uji coba rudal Korea Utara. Mereka, kata Kim, berpendapat bahwa Korea Utara telah menciptakan salah satu tantangan keamanan paling serius bagi daerah dan wilayah sekitarnya dengan aksinya itu.
“Untuk mengatasi ancaman ini secara efektif, hubungan kerja sama trilateral diplomatik kita telah dilengkapi dengan kerja sama keamanan yang ditingkatkan, termasuk latihan pertahanan rudal angkatan laut dan balistik serta latihan udara sebagai tanggapan atas pengujian rudal Korea Utara termasuk misil balistik yang sembrono dan berbahaya yang terbang di atas Jepang,” ungkap Kim.
Pemerintah dari ketiga negara ini sebelumnya, ujar Kim, telah memberlakukan sanksi otonom terhadap Korea Utara dan meminta pertanggungjawaban Pyongyang atas pelanggaran berulangnya terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB. Dalam kesempatan ini, Kim mengajak semua negara untuk bergabung dengan AS, Korea Selatan dan Jepang dalam meminta Korea Utara mematuhi peraturan yang ada.
Kim menekankan bahwa ancaman uji coba rudal Korea Utara bukan hanya masalah bagi Asia Timur atau AS semata, melainkan juga masalah global.
“Program sibernya juga berbahaya dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB. Korea Utara menghadirkan tantangan yang hanya dapat diatasi dengan sukses ketika komunitas internasional berdiri bersama dan berbicara dengan suara yang bersatu,” tambah Kim.
Senada dengan Sung Kim, Pejabat Senior Kementerian Luar Negeri Jepang Takehiro Funakoshi mengatakan ketiga negara memang telah meningkatkan kerja sama keamanan ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, apalagi setelah uji coba rudal jarak jauh ini melintasi Jepang.
BACA JUGA: Angkatan Udara AS: Uji Coba Rudal Hipersonik AS Sukses“Tahun ini, kerja sama keamanan Jepang, AS, dan Korea Selatan telah kembali. Dialog politik trilateral ini belum pernah terjadi sebelumnya. Bulan lalu dalam KTT ASEAN, para pemimpin kami menegaskan kembali komitmen mereka terhadap denuklirisasi total Korea Utara, dan tujuan bersama mereka, yaitu Indo Pasifik yang bebas dan terbuka,” ungkap Takehiro.
Dalam pertemuan hari ini, menurut Takehiro, ketiga pihak fokus membicarakan tiga pilar utama. Pertama, katanya, melakukan pencegahan dalam level atau tingkatan regional. Bagi pemerintah Jepang ini, ini berarti meningkatkan anggaran pertahanan menjadi dua persen dari produk domestik bruto (PDB) saat ini pada tahun fiskal 2027.
“Kami juga akan memeriksa semua opsi termasuk kemampuan serangan balik,” tegas Takehiro.
Kedua, yakni meningkatkan kerja sama antara PBB dan negara-negara yang berpikiran sama terkait uji coba rudal Korea Utara. Meski begitu, ia menyayangkan penggunaan veto yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Korea Utara.
“Tapi ini tidak akan menghentikan tindakan kita. Kami akan memperdalam kerja sama kami di PBB dan di antara negara-negara yang berpikiran sama, termasuk sanksi. Dalam hal ini, kami akan lebih waspada terhadap ancaman siber dari Korea Utara mengingat aktivitas jahatnya yang intensif di dunia maya,” tambahnya.
Takehiro menekankan bahwa pihaknya akan tetap terbuka untuk berdialog dengan Korea Utara. Maka dari itu, ia mendesak Korea Utara untuk menanggapi keinginan dialog secara terbuka tersebut.
“Komitmen kami terhadap denuklirisasi akan tetap teguh. Korea Utara tidak akan pernah diakui sebagai negara nuklir,” tuturnya.
Sementara itu, Perwakilan Khusus Korea Selatan Kim Gunn mengatakan dalam beberapa waktu terakhir Korea Utara menjadi lebih agresif dan secara terang-terangan melakukan ancaman nuklir dengan meluncurkan rudal balistik dalam jumlah yang mencapai rekor baru tahun ini. Korea Utara, menurut Kim, bahkan telah mendoktrin dunia bahwa mereka adalah negara nuklir paling agresif di dunia.
BACA JUGA: AS, Sekutu-sekutu Asia Berlakukan Sanksi Baru pada Korea Utara Setelah Uji Coba Rudal Balistik Antarbenua“Namun, rentetan provokasi oleh Pyongyang justru memperkuat kerja sama trilateral kita. Seperti yang diperintahkan para pemimpin kami di Phnom Penh, perjanjian tersebut telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan Aliansi Korea Selatan-AS yang kuat dan kerja sama keamanan trilateral, kami akan memperkuat pencegahan kami terhadap ancaman nuklir dan misil Korea Utara,” ungkap Kim Gunn.
Pyongyang, katanya, telah berusaha menyembunyikan kenyataan pahit terkait kegagalan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya yang buruk. Bahkan, Kim Gunn mengatakan bahwa Korea Utara mencoba mengalihkan perhatian dunia dengan memamerkan kemajuan kemampuan rudal jarak jauh milik mereka.
“Pembuatan senjata nuklir Pyongyang tidak menghasilkan apa-apa bagi negaranya. Itu hanya merusak keamanan negaranya sendiri, memperpanjang isolasi diplomatik dan menghancurkan ekonominya. Sangat disayangkan sekali,” tuturnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Ia juga menyoroti bahwa masyarakat internasional tidak akan pernah mengakui Korea Utara sebagai negara dengan senjata nuklir. Menurutnya, selama kurang lebih 30 tahun terakhir, komunitas internasional tetap teguh pada tujuan bersama yakni mendenuklirisasi Korea Utara.
“Itu tidak akan menjadi satu skenario di mana kami meninjau kembali tujuan ini. Tidak dalam waktu yang lama, tapi Pyongyang memiliki harapan sekecil apa pun untuk mengubah hal ini. Mereka sebaiknya bangkit dan menghadapi kenyataan,” katanya.
Meski begitu, Kim Gunn menegaskan bahwa pihaknya selalu terbuka dengan adanya dialog. Hal tersebut dibuktikan dengan inisiatif yang diusulkan oleh Presiden Korsel pada Agustus lalu untuk terlibat dalam dialog dengan Korea Utara.
“China memiliki kemampuan untuk mempengaruhi Korea Utara. Kami berharap China akan terus memainkan peran konstruktif dalam catatan ini. Kami juga akan mendorong China untuk melakukan upaya terbaiknya akan menjadi topik penting lainnya. Saya menantikan putaran diskusi produktif lainnya,” pungkasnya.
Pakar: Kementerian Luar Negeri Indonesia Harus Merespons
Terkait pertemuan ini, pengamat hubungan internasional Universitas Padjajaran Rizki Ramadhan mempertanyakan mengapa Jakarta harus dijadikan tempat pertemuan untuk membahas isu yang menurutnya cukup sensitif tersebut. Meskipun pertemuan antar ketiga negara tersebut dilakukan di Gedung Kedutaan Besar AS untuk Indonesia yang merupakan wilayah extra territorial AS.
“Kenapa harus di Indonesia? Apakah karena memang Indonesia secara geo politik juga sudah menarik sejumlah negara-negara kuat untuk dalam tanda kutip terlibat dalam isu-isu strategis seperti ini? Saya rasa pesannya seperti itu,” ungkap Rizki kepada VOA.
Ia berpendapat, pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia harus merespons terkait pertemuan tersebut. Pasalnya, pertemuan ini bisa saja berdampak terhadap citra Indonesia di mata negara-negara tetangga atau sahabat bahwa secara tidak langsung Indonesia menyetujui atau memfasilitasi pertemuan tersebut.
BACA JUGA: Jokowi Tawarkan Indonesia Jadi Lokasi Pertemuan Trump-Kim Jong-un“Cuma kalau dilihat dari konten pertemuannya, agak mengerikan juga. Memang itu hak mereka untuk merespons, apalagi sempat melintas di Jepang, karena kalau sudah melintas di Jepang berarti kasarnya di Jepang saja itu sampai,” katanya.
“Dalam hal ini seharusnya Kemlu harus memberikan sinyal bahwa kita tidak suka dijadikan tempat untuk hal seperti ini, karena ini sangat sensitif dalam artian bila benar-benar hasil pertemuan mereka tersebut dijalankan, itu kan berarti sinyal akan membahayakan stabilitas kawasan dan perdamaian di regional,” tambahnya.
Menurutnya respons apapun dari Kemenlu Indonesia dibutuhkan agar tidak ada kesimpangsiuran, terutama dari negara-negara sahabat terhadap Indonesia.
“Yang saya khawatirkan negara lain menilai bahwa kita (Indonesia) fine-fine saja, kita memang memfasilitasi pertemuan ini dengan membiarkan. Jadi takutnya dimaknai seperti itu oleh negara-negara tetangga, apalagi hubungan kita dengan negara-negara Korea Utara sebenarnya sangat baik. Dengan adanya hal ini takutnya ada salah sinyal bagi pemerintahan Korea Utara juga," katanya. [gi/ab]