Sebuah pengadilan di Arab Saudi mendukung hukuman penjara 20 tahun yang dijatuhkan pada seorang pekerja bantuan Saudi yang mengkritik pemerintah di Twitter.
Putusan pengadilan itu mengundang kecaman terbuka yang jarang dilontarkan Amerika Serikat, yang menyiratkan munculnya ketegangan baru antara pemerintahan Biden dan kerajaan Saudi.
Putusan itu, yang dikonfirmasi Rabu malam (6/10), juga mengukuhkan larangan perjalanan selama 20 tahun terhadap Abdulrahman al-Sadhan setelah pembebasannya.
Kasus terhadap al-Sadhan banyak diperkirakan berakar dari skandal di Silicon Valley yang memicu munculnya kasus federal terhadap dua karyawan Twitter yang dituduh melakukan aksi mata-mata untuk Arab Saudi. Kedua orang itu diduga mengakses data pengguna lebih dari 6.000 akun Twitter, termasuk sekitar 30 nama pengguna yang ingin dibongkar kerajaan.
Keluarga al-Sadhan mengatakan identitasnya tampaknya termasuk di antara mereka yang bocor ke pihak berwenang Saudi. Al-Sadhan belakangan diketahui sebagai orang di balik akun Twitter anonim berbahasa Arab yang memiliki banyak pengikut dan sering mengkritik pemerintah.
Kasus al-Sadhan adalah contoh terbaru dari tindakan keras yang terus berlanjut terhadap mereka yang mengkritik pemerintah Saudi dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Putusan pengadilan juga menunjukkan sejauh mana pihak berwenang telah membungkam mereka.
BACA JUGA: AS Dikritik karena Tak Ambil Tindakan terhadap Putra Mahkota SaudiKasus al-Sadhan menjadi sorotan karena beratnya hukuman yang dijatuhkan dan kemungkinan hubungannya dengan penyelidikan FBI dan kasus federal di California terhadap dua pria yang dituduh menjadi mata-mata kerajaan Saudi saat bekerja di Twitter.
Para hakim di pengadilan banding Saudi menjatuhkan putusan mereka, Selasa. Mereka mendukung putusan pengadilan sebelumnya yang menvonis al-Sadhan hukuman 20 tahun penjara, diikuti dengan larangan perjalanan yang sama panjangnya, yang berarti pria berusia 37 tahun itu tidak akan benar-benar bebas sampai dia berusia tujuh puluhan.
Adik perempuan Al-Sadhan, Areej, yang berkewarganegaraan ganda Saudi-AS dan tinggal di California, mengkonfirmasi putusan itu kepada Associated Press, Rabu.
Ia mengatakan adik laki-lakinya bukan seorang aktivis, tetapi sangat menyadari tantangan ekonomi yang dihadapi lelaki dan perempuan muda Saudi karena profesinya sebagai pekerja bantuan. Ia mengatakan saudara laki-lakinya itu menghilang pada Maret 2018 setelah sejumlah petugas keamanan berpakaian preman memasuki kantor Bulan Sabit Merah di Riyadh, tempat ia bekerja. Keluarga tidak mendengar kabar darinya selama hampir dua tahun, hingga Februari 2020.
Selama periode itu, keluarga al-Sadhan mendapat kabar bahwa ia ditahan di sebuah lokasi rahasia dan menjadi sasaran berbagai pelanggaran: pemukulan, penyetruman listrik, larangan tidur, penyerangan verbal dan seksual.
Departemen Luar Negeri AS, yang jarang mengomentari kasus-kasus individu aktivis HAM Saudi, mengatakan dalam sebuah pernyataan Rabu (6/10) bahwa mereka kecewa dengan putusan pengadilan itu, dengan mengatakan bahwa “pelaksanaan hak-hak universal secara damai seharusnya tidak pernah dianggap pelanggaran yang dapat dihukum”.
“Kami telah memantau kasusnya dengan cermat dan prihatin dengan tuduhan bahwa al-Sadhan menjadi sasaran penganiayaan, bahwa ia tidak dapat berkomunikasi dengan anggota keluarga, dan bahwa jaminan pengadilan yang adil tidak dihormati,'' kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price.
Price mengatakan AS akan terus meningkatkan peran HAM dalam hubungan dengan Arab Saudi. Ia juga mengatakan AS akan terus mendorong reformasi hukum yang memajukan penghormatan terhadap HAM semua individu.
Ketua DPR Nancy Pelosi, seorang Demokrat dari California, mengatakan dalam sebuah posting Twitter bahwa ia merasa prihatin atas penegakan hukuman brutal itu.
“Serangan Arab Saudi terhadap kebebasan mengungkapkan pendapat dan pelanggaran HAM-nya harus dikutuk oleh semua orang yang mencintai kebebasan,'' kata Pelosi. [ab/uh]