Israel terus melakukan serangan terhadap Kota Rafah di Gaza selatan, dekat perbatasan dengan Mesir di mana lebih dari satu juta warga Palestina, sebagian di antaranya terpaksa mengungsi beberapa kali akibat perang, mencari perlindungan. Nasib mereka dibahas oleh para diplomat di New York, di mana pada Selasa (20/2) Amerika Serikat (AS) kembali memveto resolusi PBB yang didukung Arab yang menuntut gencatan senjata segera di Gaza.
Veto itu adalah yang ketiga yang dilakukan oleh AS sejak dimulainya serangan militer Israel di daerah kantong Palestina, setelah serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan.
Utusan Palestina untuk PBB Riyad Mansour menyebut tindakan tersebut “gegabah dan berbahaya.”
“Melindungi Israel, bahkan ketika negara itu melakukan kejahatan yang paling mengejutkan, telah membuat jutaan warga Palestina yang tidak bersalah, murka karena kengerian yang tak terbayangkan. Bukan Israel yang harus dilindungi dengan hak veto, tetapi anak-anak Palestina, perempuan dan laki-laki, yang harus dilindungi oleh Dewan Keamanan sekarang," ujarnya.
BACA JUGA: China: Veto AS dalam Gencatan Senjata PBB Dorong Situasi Gaza 'Semakin Berbahaya'AS mengusulkan rancangan resolusinya sendiri, yang menyerukan gencatan senjata sementara di Gaza, hingga enam minggu, hanya setelah kesepakatan penyanderaan antara Israel dan Hamas dicapai. AS mengupayakan kesepakatan bersama Mesir dan Qatar.
Draf itu juga mengutuk serangan 7 Oktober dan membuatnya jelas bahwa Hamas tidak mempunyai tempat dalam pemerintahan Gaza pada masa depan.
“Selain itu, rancangan kami menyatakan tidak boleh ada pengurangan wilayah di Jalur Gaza dan menolak, seperti yang kami usulkan dalam Resolusi 2720, setiap pemindahan paksa warga sipil di Gaza. Rancangan ini juga memperhatikan kekhawatiran banyak anggota dewan mengenai nasib warga sipil di Rafah. Memperjelas bahwa dalam situasi saat ini, serangan darat besar-besaran ke Rafah tidak boleh dilanjutkan," papar Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield.
BACA JUGA: Warga Palestina Kisahkan Proses Evakuasi yang Mencekam dari Rumah Sakit GazaMereka yang skeptis memandang resolusi yang diajukan oleh AS itu sebagai taktik diplomatik yang akan memperpanjang penderitaan warga Palestina. Israel telah memperingatkan bahwa, kecuali semua sandera yang ditahan oleh Hamas dibebaskan selambatnya pada awal Ramadan pada 10 Maret, maka Israel akan melanjutkan serangan darat di Rafah.
“Setiap hari ada ancaman dan pernyataan. Kami tidak tahu harus ke mana," keluh Nihal Obeid, warga Palestina di Rafah
Namun, resolusi AS menunjukkan sikap keras Washington terhadap perilaku perang Israel, ujar Richard Gowan, direktur International Crisis Group di PBB, kepada VOA melalui Zoom.
Your browser doesn’t support HTML5
“Ini adalah pertama kalinya AS mengusulkan sebuah rancangan resolusi yang benar-benar mencakup beberapa kritik tersirat yang cukup keras terhadap tindakan Israel di Gaza, dan situasi di Tepi Barat. Dan saya pikir pemerintahan Biden mungkin memberikan isyarat halus bahwa mereka akan terus melindungi Israel di PBB, namun kesabarannya ada batasnya," katanya.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertekad untuk tidak tunduk pada tekanan internasional. Minggu ini Kabinet Perangnya akan bertemu dengan penasihat utama Presiden Joe Biden, Brett McGurk, yang akan mendorong Israel untuk menyetujui kesepakatan mengenai pembebasan sandera dan menunda serangan darat di Rafah. [lt/ns]