AS tidak akan mendukung pengerahan kembali senjata nuklir taktis ke Korea Selatan, atau pengaturan berbagi senjata nuklir dengan Seoul, menurut seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, setelah seorang kandidat utama calon presiden Korea Selatan mengusulkan langkah itu.
“Yang dapat saya katakan adalah, kebijakan AS tidak mendukung itu. Dan saya akan terkejut karena orang yang mengeluarkan pernyataan kebijakan itu tidak tahu apa kebijakan AS,” kata Mark Lambert, Deputi Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Jepang dan Korea, dalam sebuah forum online.
Pernyataan itu merupakan tanggapan atas pertanyaan mengenai Yoon Seok-youl, seorang kandidat presiden Korea Selatan yang berhaluan konservatif, yang pekan ini mengatakan ia akan meminta Washington untuk mengerahkan kembali senjata nuklir taktis atau menyetujui sebuah kesepakatan berbagi nuklir jika Korea Selatan diancam oleh Korea Utara.
BACA JUGA: Korut Uji Coba Rudal Balistik di Tengah Perlombaan Senjata di KoreaAS menarik senjata nuklir taktis, kadang-kadang dikenal sebagai senjata nuklir di medan tempur, dari Korea Selatan pada awal 1990-an. Para politisi konservatif Korea Selatan selama bertahun-tahun telah menyerukan pengerahan kembali senjata itu, khususnya karena Korea Utara telah meluaskan program senjata nuklirnya.
Yoon tampaknya menjadi sosok terkemuka dalam politik Korea Selatan yang menyerukan hal itu belakangan ini. Berbagai jajak pendapat menunjukkan Yoon, mantan jaksa agung, akan terlibat dalam persaingan ketat dengan Lee Jae-myung, seorang gubernur berhaluan kiri, dalam pemilihan presiden Maret mendatang. Keduanya tampaknya menjadi kandidat terdepan sebagai calon presiden dari partai mereka.
“Ini bukan pertama kalinya seorang politisi konservatif mengeluarkan janji tersebut. Tetapi tentu saja Yoon adalah kandidat unggulan pertama yang melakukannya,” kata Lee Sang-sin, pakar ilmu politik di Korean Institute for National Unification di Seoul.
Hampir 70 persen warga Korea Selatan mendukung negara membangun kemampuan nuklirnya sendiri, menurut jajak pendapat yang hasilnya dirilis awal bulan ini oleh organisasi riset Korea Selatan Asan Institute. Temuan ini secara luas sejalan dengan berbagai jajak pendapat lainnya mengenai isu serupa, kata Lee, yang berfokus pada opini publik.
“Mengingat geopolitik dan Korea Utara, ini tidak mengejutkan siapa pun. Tentu saja, publik tidak memahami kerumitan dan kemungkinan biaya senjata nuklir itu. Kami telah begitu lama berada di bawah ancaman nuklir dari Korea Utara, dan wajar saja rakyat menginginkan sesuatu yang membuat mereka merasa aman,” lanjutnya.
Korea Selatan sempat mengupayakan program senjata nuklir pada tahun 1970-an, di tengah-tengah pertanyaan ketika itu mengenai komitmen jangka panjang AS untuk melindungi Seoul.
Belakangan ini, kalangan konservatif Korea Selatan telah menyerukan pengerahan kembali senjata nuklir taktis AS, atau pengaturan seperti di NATO di mana Korea Selatan akan dilatih untuk menggunakan senjata nuklir AS jika terjadi konflik.
BACA JUGA: KCNA: Korea Utara Tembakkan Rudal Jelajah Jarak JauhNamun kedua skenario itu kemungkinan besar tidak akan terjadi, kata Eric Brewer, mantan pejabat Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih yang sekarang berfokus pada kebijakan nuklir di Center for Strategic and International Studies di Washington DC.
“Ini akan bertentangan dengan tujuan pemerintahan Biden untuk mengurangi peran senjata nuklir dalam strategi AS,” kata Brewer. “Dan menurut saya mereka tidak akan menganggap itu perlu untuk menangkis Korea Utara, hal yang saya sepakati.”
“Tetapi menurut saya ini menyoroti bahwa seruan bagi pengerahan kembali senjata nuklir AS akan berlanjut. Dan mungkin semakin keras, terutama karena Korea Utara terus meningkatkan arsenal nuklirnya,” lanjut Brewer. [uh/lt]