Sebanyak 50.000 penentang rancangan undang-undang (RUU) "agen asing" menggelar unjuk rasa secara damai di tengah hujan deras di ibu kota Georgia pada Sabtu (11/5). Mereka turun ke jalan setelah Amerika Serikat (AS) menyatakan Georgia harus memilih antara undang-undang ala Kremlin dan aspirasi Euro-Atlantik.
“Kami sangat khawatir mengenai kemunduran demokrasi di Georgia,” tulis penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan di X.
“Anggota Parlemen Georgia menghadapi pilihan penting – apakah akan mendukung aspirasi EuroAtlantik rakyat Georgia atau mengesahkan undang-undang agen asing ala Kremlin yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi,” katanya. “Kami mendukung rakyat Georgia.”
RUU yang menetapkan bahwa organisasi yang menerima lebih dari 20 persen dana mereka dari luar negeri harus terdaftar sebagai "agen pengaruh asing" memicu krisis politik di Georgia. Ribuan orang membanjiri jalan-jalan menuntut RUU itu dicabut.
Pada Sabtu, kerumunan yang memadati jalan-jalan mengibarkan bendera Georgia, Uni Eropa, dan beberapa bendera Ukraina sebagai simbol perlawanan terhadap masa lalu. Terlihat lebih banyak pengunjuk rasa yang lebih tua bersama dengan banyak anak muda yang telah memenuhi jalanan selama sebulan terakhir.
"Pemerintah seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat bebas Georgia," ujar seorang demonstran berusia 30-an, yang mengaku bernama Nino, sambil mengibarkan bendera Georgia besar dan memimpin salah satu dari tiga kelompok massa yang berkumpul di pusat kota. Massa tersebut menghalangi sebagian besar jalan di kota dan mengisi jantung kota tua Tbilisi.
“Kami ingin memasuki Uni Eropa dengan kebanggaan dan martabat kami,” katanya.
Anuki, mahasiswi seni peran berusia 22 tahun, mengatakan bahwa merupakan tanggung jawab generasinya "untuk memastikan masa depan kita dan masa depan generasi setelah kita aman, bahwa mereka memiliki kebebasan berbicara, dan pada dasarnya mereka bebas."
BACA JUGA: PM Georgia Mengundurkan Diri untuk Jadi Ketua Partai Jelang Pemilu“Dan kami tidak ingin menjadi bagian dari Rusia,” tambahnya. “Kami tidak pernah ingin menjadi bagian dari Rusia. Dan selalu menjadi tujuan kami untuk menjadi bagian dari Eropa,” katanya.
Parlemen, yang dikendalikan oleh partai berkuasa Georgian Dream dan sekutunya, akan memulai sidang komite mengenai pembacaan ketiga dan terakhir RUU tersebut pada Senin. Kelompok oposisi menyerukan gelombang protes baru mulai Sabtu.
Krisis ini telah menghadapkan partai penguasa Georgian Dream dengan koalisi partai-partai oposisi, masyarakat sipil, selebritas melawan presiden negara itu. Demonstrasi massal yang menutup sebagian besar pusat Kota Tbilisi hampir setiap malam selama lebih dari sebulan.
Penentang RUU tersebut di Georgia menjulukinya sebagai “hukum Rusia”, dan membandingkannya dengan undang-undang yang digunakan untuk menargetkan kritik terhadap Kremlin yang dipimpin Presiden Vladimir Putin.
Uni Eropa, yang memberikan status kandidat kepada Georgia pada Desember, mengatakan bahwa RUU tersebut akan menimbulkan hambatan serius bagi integrasi lebih lanjut jika disahkan.
Georgian Dream mengatakan RUU tersebut akan mendorong transparansi dan kedaulatan nasional Georgia.
Sullivan mengatakan bahwa Georgian Dream tampaknya sengaja mencoba untuk memutuskan hubungan dengan Barat, meskipun partai yang berkuasa dan opini publik Georgia secara tradisional mendukung negara tersebut untuk bergabung dengan Uni Eropa dan aliansi militer NATO yang dipimpin AS.
Sullivan menulis: "Retorika Georgian Dream baru-baru ini, usulan perubahan legislatif, dan tindakan bertentangan dengan aspirasi rakyat Georgia dan dirancang untuk mengisolasi warga Georgia dari Amerika Serikat dan Eropa." [ah/ft]