Optimisme AS bahwa kesepakatan untuk memulihkan perjanjian 2015 guna membatasi pengembangan nuklir Iran telah menyurut, dengan Departemen Luar Negeri AS, Selasa (22/3), memperingatkan bahwa AS mengarah ke “Rencana B” jika Teheran bergeming.
Baru sepekan silam para pejabat Washington berharap suatu kesepakatan yang bertujuan untuk menghentikan langkah Iran menuju kemampuan senjata nuklir akan dapat dicapai setelah perundingan selama hampir satu tahun.
“Kami hampir mencapai kesepakatan yang mungkin diraih, tetapi kami belum sampai di sana,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price pada 16 Maret. “Kami benar-benar berpikir bahwa isu yang tersisa dapat diatasi.”
Para pejabat AS menyatakan mereka mengira Teheran akan mencapai kesepakatan setelah perayaan Nowruz, tahun baru Persia, pada hari Minggu.
Namun, nada optimistis itu mendadak berubah keesokan harinya.
“Saya ingin memperjelas bahwa suatu kesepakatan tidak segera terjadi dan juga tidak pasti,” kata Price pada Senin (21/3).
BACA JUGA: Iran Cari Cara Kreatif untuk Pulihkan Kesepakatan Nuklir Setelah Tuntutan RusiaDan pada hari Selasa (22/3), sambil menolak menyatakan pembicaraan telah menghadapi kebuntuan, Price mengatakan AS memiliki rencana kontingensi jika suatu kesepakatan tidak dapat dicapai dan rencana Iran yang diduga akan mengembangkan senjata nuklir tidak dihentikan.
“Tanggung jawab ada di pihak Teheran untuk membuat keputusan yang mungkin dianggap sulit,” kata Price kepada wartawan.
“Kenyataannya, kami sedang menyiapkan skenario dengan dan tanpa kembali ke implementasi penuh Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA),” katanya.
Pemerintahan Presiden Donald Trump secara sepihak membatalkan JCPOA enam pihak pada tahun 2018, menuduh Teheran melanggar ketentuan-ketentuan di dalamnya dan menyebutnya sebagai kesepakatan yang lemah.
Para pakar menyatakan Iran sebagian besar mematuhi persyaratan itu, tetapi beberapa bulan setelah penarikan mundur AS, republik Islam itu mulai meningkatkan program nuklirnya dengan berbagai aktivitas yang akan meningkatkan kemampuannya membuat senjata nuklir.
April lalu, tiga bulan setelah mulai menjabat, Presiden Joe Biden memulai perundingan baru untuk menghidupkan kembali perjanjian 2015, menjanjikan pelonggaran sanksi-sanksi sebagai imbalan untuk memulihkan kontrol JCPOA.
Namun pembicaraan berlanjut dengan pengetahuan bahwa Teheran telah melangkah lebih dekat lagi ke tercapainya senjata nuklir, yang akan membuat JCPOA perlu diperdebatkan. [uh/ab]