Derita ribuan warga Gaza mendorong para pemimpin dunia untuk segera berupaya mengakhiri perang di Gaza yang telah berlangsung lebih dari tujuh bulan.
Warga Gaza diselimuti rasa takut selagi berjuang mencari tempat aman, di bawah ancaman serangan berskala penuh Israel ke kota Rafah yang padat. Sementara itu, kegeraman yang memuncak di kalangan muda terhadap aksi kekerasan yang tak kunjung usai di sana telah membuat para mahasiswa di universitas-universitas AS meradang, hingga menyebar ke seluruh penjuru negara itu.
Pada situasi yang sulit itu, pihak Gedung Putih mengatakan pada Senin (13/5) bahwa Washington masih terus mengupayakan negosiasi di Kairo, Mesir, yang bertujuan untuk menjamin pembebasan sandera dan gencatan senjata.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan, “Negosiasi satu ini mengalami pasang surut, berliku, dan alot. Dan apa yang saya kemukakan di awal masih tetap berlaku: Mungkin akan ada gencatan senjata besok jika Hamas mau membebaskan para perempuan, (mereka yang) terluka, dan para lansia.”
“Kami yakin Israel telah mengajukan proposal yang layak. Hamas telah mengajukan proposal balasan. Dunia menyerukan gencatan senjata; mereka yang menyerukannya sebaiknya mendatangi Hamas dan katakan, ‘Hadirilah negosiasi dan upayakan sampai kita mendapatkan kesepakatan’,” tambahnya.
Kepada VOA, Sullivan mengakui ada keretakan baru dalam proses negosiasi tersebut. Mesir, yang memimpin perundingan, baru-baru ini mendukung gugatan Afrika Selatan terhadap Israel atas tuduhan genosida di Mahkamah Internasional.
“Saya tidak yakin (dukungan Mesir atas gugatan Afrika Selatan) membantu mempermudah pembahasan soal upaya menyelesaikan masalah bantuan kemanusiaan dan akses antara Mesir dan Israel. Namun, saya yakin bahwa Mesir, Israel, Amerika Serikat, PBB, kita semua mencoba bekerja sama untuk mencari jalan keluar,” jelas Sullivan.
BACA JUGA: Menlu AS: Tindakan Israel Tidak Konsisten dengan Hukum InternasionalPara pengamat menilai pesan Washington juga tidak jelas, terutama mengenai rencana Israel untuk melancarkan “operasi militer besar-besaran” di kota Rafah, Gaza selatan. Sullivan pada Senin (13/5) menyampaikan bahwa Israel sejauh ini hanya melancarkan serangan-serangan bertarget di sana.
“Ada sinyal-sinyal yang tidak jelas dari pemerintah (AS). Terkadang mereka tampak seperti menentang apa pun di Rafah, tetapi terkadang, ‘Tidak, kami tidak menentangnya. Kami hanya belum memiliki rencana yang tepat.’ Jadi, saya pikir hal ini perlu diklarifikasi,” ujar David Makovsky, peneliti Ziegler dari Washington Institute dan direktur Koret Project yang terkait hubungan Arab-Israel.
Your browser doesn’t support HTML5
Di tengah upaya Washington untuk mencoba menyusun rencana yang jelas, pemerintah Israel menghadapi tekanan dari rakyatnya yang menuduh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memperburuk aksi kekerasan di Palestina.
“Saya hanya ingin menegaskan kepada Perdana Menteri Netanyahu tentang tanggung jawabnya atas apa yang terjadi di sini pada tanggal 7 Oktober,” kata Nir Galon, seorang pengusaha yang berbasis di Tel Aviv.
Sementara para pejabat pemerintah mencoba merundingkan perdamaian, serangan Israel ke Gaza terus berlanjut. [br/rd]