Presiden Donald Trump menghadiri upacara peringatan 11 September di Shanksville, Pennsylvania, dekat tempat United Airlines, nomor penerbangan 93 jatuh setelah penumpang merebut kembali kendali pesawat itu dari teroris al-Qaida yang telah membajaknya.
“Anda tidak menitikkan airmata sendirian, kesedihan anda dirasakan oleh seluruh bangsa. Kita berdukacita atas tiap ibu dan ayah, kakak dan abang, putra dan putri yang direnggut dari kita di Twin Tower, Pentagon dan di sini di lapangan Pennsylvania ini,” kata Presiden Trump kepada hadirin terdiri dari anggota keluarga penumpang pesawat yang malang itu serta semua anggota barisan tanggap darurat pertama.
“Flight 93 jatuh beberapa meter dari tempat kita berdiri sekarang, hanya 20 menit waktu terbang dari ibukota Amerika. Melalui pengorbanan mereka, yang 40 itu menyelamatkan jiwa orang Amerika yang tidak terhitung jumlahnya dan menyelamatkan ibukota kita dari serangan yang membinasakan. Lapangan ini sekarang menjadi tugu akan perlawanan Amerika. Tugu kenangan ini sekarang menjadi pesan kepada dunia bahwa Amerika tidak akan pernah menyerah kepada tirani,” tambah Trump.
Dalam proklamasi tahunan yang menyatakan 11 September sebagai Patriot Day atau Hari Pahlawan, Presiden Trump mengatakan “aksi jahat” tidak mampu melunturkan semangat bangsa Amerika atau komitmennya pada kebebasan.
Your browser doesn’t support HTML5
Presiden Trump juga mengatakan, “Kita bersekutu hari ini, untuk mengenang kebenaran abadi bahwa ketika Amerika bersatu, tidak ada kekuatan di Bumi yang dapat memisahkan kita. Nilai-nilai kita akan lestari; rakyat maju dan makmur, bangsa kita terus langgeng; dan kenangan akan orang-orang yang kita cintai tidak akan pernah pudar.”
Tidak jauh di luar ibu kota Washington DC, Wakil Presiden AS Mike Pence dan Menteri Pertahanan Jim Mattis menghadiri upacara di Pentagon untuk keluarga-keluarga yang kehilangan anggota tercinta karena tewas ketika sebuah pesawat yang dibajak ditabrakkan ke gedung Departemen Pertahanan Amerika itu.
Sementara itu di kota New York, ratusan orang yang selamat dalam serangan itu dan para anggota keluarga orang-orang yang tewas berkumpul di Ground Zero, tempat menara kembar World Trade Center berdiri sebelum dua pesawat komersial yang dibajak meruntuhkan kedua pencakar langit itu. Dalam peringatan ini sorot kembar cahaya diproyeksikan ke langit untuk mengenang mereka yang tewas dalam serangan itu.
Sembilan belas teroris yang berafiliasi dengan al-Qaida melakukan pembajakan empat pesawat penumpang pada waktu yang hampir bersamaan untuk menyerang gedung-gedung ikonik yang dianggap sebagai lambang kejayaan Amerika. Sebagai serangan paling mematikan di bumi Amerika sejak Pearl Harbor pada tahun 1944, peristiwa tanggal 11 September 2001 itu secara permanen mengubah persepsi Amerika tentang keamanan dan segera mendorong presiden Amerika ketika itu, George W. Bush, untuk menyatakan perang melawan terorisme.
Hampir dua dekade kemudian, peringatan itu tetap menjadi pengingat yang menyakitkan bagi keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai.
Anak Mary Fetchet, Brad, bekerja di Menara Selatan World Trade Center ketika pesawat pertama menabrak gedung pencakar langit lainnya, Menara Utara.
Kepada VOA, ia mengatakan, “anak saya menelepon suami saya dan memberitahukan bahwa dia baik-baik saja, dan sekedar mengingatkan bahwa dia berada di menara kedua.”
Setelah suami Mary Fetchet meneleponnya di tempat kerja untuk mengabarkan bahwa Brad masih hidup, ia kemudian berjalan menuju gedung lain yang bersebelahan. Ketika ia memasuki gedung itu, ia melihat siaran langsung televisi yang menunjukkan pesawat kedua yang menabrak menara yang satunya lagi.
Mary Fetchet menambahkan, “Tentu saja saya berharap, dan berusaha menerka-nerka di lantai berapa Brad berada di gedung itu, dan apakah dia sebenarnya punya kesempatan untuk sampai di bawah lantai gedung yang ditabrak oleh pesawat itu antara waktu ketika dia menelepon suami saya dan saat pesawat itu menghantam menara kedua."
Fetchet pulang ke rumah setelah itu, dan berharap mendapat telepon dari putranya, namun telepon itu tidak kunjung datang. Ia menunggu dan menunggu dan baru menjelang akhir bulan September, ia menerima kenyataan dan mengadakan peringatan untuk mengenang Brad.
Setelah serangan itu, Fetchet mengorganisir orang-orang yang selamat dan keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta.
Ia menjelaskan, “Saya segera menyadari bahwa keluarga-keluarga yang tinggal di negara ini dan di 90 negara di luar negeri menghadapi tantangan dalam mengakses informasi. Dan, banyak keputusan dibuat yang berdampak langsung pada mereka.”
Kesadaran itu menuntunnya untuk mendirikan sebuah badan amal yang dijulukinya Voices of September 11th (“Suara-Suara 11 September”) yang memberikan layanan kepada keluarga-keluarga yang terkena dampak tragedi tersebut, seperti mensponsori kelompok-kelompok pendukung dan membantu identifikasi tulang belulang dari orang-orang tercinta yang tersisa dari kobaran api dan reruntuhan. Organisasi ini juga diperluas untuk memberikan layanan kepada komunitas yang terkena dampak kekerasan di seluruh dunia.
“Kami telah belajar banyak selama 17 tahun ini,” ujar Mary Fetchet. “Tampaknya tidak ada akhir bagi aksi terorisme dan kekerasan massal di Amerika Serikat dan di seluruh dunia,” tambahnya. [lt/ab]