Paian Siahaan bagaikan tersambar petir ketika mengetahui Prabowo Subianto, orang yang diduga terlibat dalam penghilangan paksa anaknya Ucok Munandar Siahaan pada tahun 1997-1998 memenangkan pemilihan presiden pada Pemilu 2024 versi hitung cepat atau quick count.
Sedih berkecamuk dalam hatinya. Betapa tidak, sudah 25 tahun ia bersama keluarga korban lainnya berjuang untuk mendapatkan keadilan. Ucok Munandar Siahaan adalah salah satu dari 13 aktivis yang diduga diculik pada kerusuhan Mei 1997-1998.
Meski mengaku sempat “drop” namun dia menyadari perjuangan harus tetap dilakukan. Pertanggungjawaban akan tetap diminta, siapapun yang akan memimpin negeri ini. Pelaku yang ditulis oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan penyelidikan badan itu harus mempertanggungjawabkan tindakannya, tegas Paian.
“Siapa pun yang memerintah apakah Prabowo atau Anies pun kami akan tetap meminta pertanggungjawaban pelaku yang dicantumkan Komnas HAM dalam penyelidikannya. Itu menjadi komitmen kami,” ungkapnya.
Dengan suara parau, Paian yang kini berusia 77 tahun itu mengatakan masih berharap adanya kejelasan atas nasib anaknya, apakah masih hidup atau tidak. Apabila sudah meninggal, ia ingin diberitahu penyebabnya dan di mana kuburnya. Ucok, yang lahir pada 17 Mei 1976 itu, kata Paian, namanya masih tertera dalam kartu keluarga (KK)-nya hingga kini.
Terkadang ia merasa anaknya telah meninggal, tetapi di sisi lain ketika ia bermimpi bertemu anaknya, Paian bertanya-tanya dalam hatinya apakah anak yang dicintainya itu masih hidup. Itulah alasan mengapa ia belum mau mengelurkan nama anaknya dari kartu keluarga.
“Itu nurani ya, kadang-kadang sudah ga ada tetapi kadang-kadang, kita lagi mimpi ketemu, jangan-jangan dia masih hidup, di mana? Waktu itu dibuang ditaruh di mana, karena tidak jelas itu. Mamak nya sekarang sudah meninggal karena menahan derita itu. Saya minta kekuatan dari Tuhan untuk diberi kekuatan agar saya dapat berjuang apapun yang terjadi tetap saya lakukan," ungkapnya.
Empat Rekomendasi DPR
Paian meminta pemerintah mendatang melaksanakan empat rekomendasi yang dikeluarkan DPR pada tahun 2009 terkait kasus penghilangan orang secara paksa yang hingga kini tidak kunjung dilakukan. Keempat rekomendasi itu keluar ketika dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Your browser doesn’t support HTML5
Keempat rekomendasi tersebut adalah membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus tersebut, mencari 13 aktivis yang masih hilang, merehabilitas dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang dan meratifikasi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
“Empat rekomendasi itu, pertama, membentuk pengadilan HAM ad hoc, katakanlah dia tidak membentuk pengadilan ad hoc tetapi melakukan pencarian, kan ada tiga lagi yang bisa dilakukan tanpa mengadili dia (Prabowo) misalnya kan. Artinya bisa kok dia lakukan, dia tetap jadi presiden tetapi melakukan hal-hal dari empat rekomendasi tersebut,” tambahnya lagi.
Putra Yani Afri: “Masa Gue Mau Ngadu Sama Orang Yang Nyulik Bokap Gue”
Hardingga, putra dari Yani Afri (korban penghilangan paksa lainnya) mengaku terkejut melihat hasil sementara Prabowo Subianto menang dalam pemilihan presiden versi hasil hitung cepat. Lelaki yang sudah menonton film dokumenter “Dirty Vote” ini mengatakan sangat kecewa atas hasil hitung cepat tersebut.
"Saya sempat pesimis masak gue mau ngadu ama orang yang udah nyulik bokap gue sendiri. Saya berpikir semakin gelap aja. Selama ini saya mencba mengadu ke sana sini dan sampai hari ini Komnas HAM sendiri tidak pernah memanggil paksa Prabowo," katanya.
Namun dia dengan tegas mengatakan akan tetap berjuang mencari tahu siapa yang menculik ayahnya. Ketika ayahnya diculik pada tahun 1997, Hardingga masih berumur lima tahun. Yani memiliki tiga orang anak.
Sama halnya dengan keluarga korban lainnya, Hardingga juga berharap bisa mengetahui nasib ayahnya, apakah masih hidup atau sudah meninggal. Laki-laki berumur 30 tahun itu juga berharap pemerintah menuntaskan kasus penghilangan paksa dan Prabowo memberikan pernyataan mengenai kasus tersebut.
Yani Afri Hilang Saat Ikut Kampanye Memperjuangkan PDI Pro-Megawati Tahun 1997
Berdasarkan cerita keluarganya, kata Hardingga, sang ayah sempat berpamitan kepada keluarganya untuk berkampanye sebelum dihilangkan paksa pada 26 April 1997 silam. Menurut Hardingga, ayahnya ingin ada pergantian presiden yang saat itu dijabat Soeharto.
Tiga hari menjelang Pemilu, Yani Afri yang merupakan sopir angkot yang juga simpatisan PDI-Perjuangan pro-Megawati Soekarnoputri memutuskan pergi bersama teman-temannya ke lokasi kampanye dan setelah itu hingga kini tidak kembali lagi.
Menurut Hardingga, usai kejadian itu, ibunya yang bernama Tinah memutuskan untuk berpindah rumah dan bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya setelah kepergian suaminya. Ibunya pun, ungkapnya mengalami trauma dengan kejadian tersebut.
“Trauma. Saya ingatnya kalau setiap kali saya main jauh-jauh, saya dicariin, saya sempat dipukul sama ibu, jangan main jauh-jauh nanti diculik, nanti ditembak nah ‘hal-hal seperti itu sih,” ujarnya.
Komnas HAM: Jika Ada Bukti Baru, Dapat Buka Penyelidikan Kembali
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian mengatakan dalam melakukan penyelidikan kasus penghilangan orang secara paksa, lembaganya pernah memanggil Prabowo untuk dimintai keterangan tapi tidak datang.
Ketika ditanya apakah nama Prabowo Subianto disebut dalam laporan Komnas HAM dalam kasus penghilangan paksa, Saurlin menjawab, "Secara detail mungkin tidak tapi yang disebutkan itu adalah terjadi penghilangan paksa dan kemudian dipanggil berbagai pihak. Dalam pelanggaran HAM berat yang dipanggil orang-orang, nggak mungkin institusinya. Karena dianggap pelakunya adalah tim mawar, maka dipanggillah orang-orang.”
Namun ia menekankan jika ada bukti baru di luar hasil investigasi komisioner periode sebelumnya, Komnas HAM dapat membuka kembali penyelidikan kasus penghilangan paksa tersebut. Ini dikarenakan tidak ada kasus pelanggaran HAM berat yang kadaluwarsa. Komnas HAM menganggap sangat penting membentuk pengadilan HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus penghilangan paksa.
Jubir Partai Gerindra: Tidak Ada Keputusan Hukum yang Menyatakan Prabowo Bersalah
Juru Bicara Partai Gerindra Bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konstitusi Munafrizal Manan mengatakan hingga saat ini tidak ada keputusan hukum yang menyatakan Prabowo Subianto bersalah dalam pelanggaran HAM pada 1997-1998. Ia menilai pandangan sejumlah orang yang menganggap dan memperlakukan Prabowo seolah-olah nyata bersalah, menurut hukum adalah tidak adil.
Munafrizal mengingatkan bahwa pelanggaran HAM merupakan domain hukum sehingga harus dibuktikan berdasarkan pada fakta dan bukti yuridis yang sangat kuat. Dalam hukum pidana, pembuktian hukum tidak boleh sedikit pun ada keraguan yang beralasan (beyond reasonable doubt).
Menurut catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) ada 13 orang yang hingga saat ini masih hilang dan tak diketahui keberadaannya. Empat diantaranya adalah para aktivis Partai Rakyat Demokratik yaitu: Wiji Thukul, Bima Petrus, Herman Hendrawan, dan Suyat.
Dewan Kehormatan Perwira Berhentikan Prabowo dari Militer
Prabowo Subianto sempat diperiksa oleh tim yang dikenal dengan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang beranggotakan jenderal-jenderal senior. Mereka adalah Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo sebagai ketua, dan enam anggota berpangkat letnan jenderal, yaitu Djamari Chaniago, Fachrul, Yusuf Kartanegara, Agum Gumelar, Arie J. Kumaat, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Dewan Kehormatan Perwira akhirnya memutuskan untuk memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas militer.
Meskipun demikian, secara hukum Prabowo Subianto memang belum sempat diadili dalam kasus ini.
DPR pada tahun 2009 merekomendasikan agar pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hoc dan mengusut kasus penculikan 13 aktivis yang masih hilang. Namun hingga saat ini rekomendasi itu tidak pernah diwujudkan.
Pemerintahan Presiden Jokowi justru memilih jalur non hukum dengan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat (PPHAM) melalui Keppres No.17/2022. [fw/em]