Menjadi kaya adalah hak bagi setiap orang, tidak terkecuali ASN. Guru besar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP), Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Profesor Dr Wahyudi Kumorotomo mengiyakan itu.
“ASN itu boleh kaya. Artinya, makmur itu boleh, dan menurut kita secara akademis, sebenarnya kalau tuntutan kebutuhan hidup pegawai masih belum mencukupi, mestinya memang harus dipenuhi,” ujarnya kepada VOA, Selasa (21/3).
Namun, ada prasyarat bagi ASN terkait harta kekayaan yang dimilikinya. Wahyudi memastikan, dari hitungan pendapatan sebagai abdi negara, sebenarnya sulit bagi ASN untuk bergelimang harta. Karena itu, jika ada ASN kaya, negara harus memastikan bahwa harta itu diperolehnya secara wajar.
“Kalau melalui hal-hal yang tidak wajar, itu artinya adalah penyimpangan, penyalahgunaan kewenangan atau korupsi. Jadi, sebenarnya kita tidak mencegah seorang pegawai negeri itu makmur atau kaya. Tetapi sekali lagi, yang kita perhatikan adalah caranya,” tambah Wahyudi.
Polemik soal ASN kaya menggeliat bukan karena upaya pencegahan atau pengungkapan kasus dari aparat hukum, tetapi dipicu kasus kriminal. Pelaku kriminal itu diketahui anak pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Akun media sosialnya menguak tindakan flexing atau pamer kekayaan, merembet ke kekayaan orangtuanya sebagai ASN. Dari satu kasus, merembet berbagai kasus baik di Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea dan Cukai, KPK, kepolisian, Badan Pertanahan dan berbagai kementerian serta lembaga lain, termasuk pejabat pemerintah daerah dan keluarganya.
Terakhir, pejabat di Sekretariat Negara dinonaktifkan pada 19 Maret 2023, setelah istrinya diketahui gemar pamer barang mewah di akun media sosial.
Warganet seolah-olah berlomba mengulik kekayaan ASN yang terlihat dari akun media sosial mereka. Uniknya, setelah upaya penindakan dilakukan, tercatat penjualan motor besar dan tas mewah meningkat tajam di berbagai laman jual-beli daring yang dinilai sebagai respon para ASN itu menjual koleksi mahal.
Semestinya Hidup Sewajarnya
Wahyudi meyakini, flexing barang mewah sebenarnya sulit dilakukan ASN pada umumnya (normal).
“Kalau kita bicara tentang pegawai negeri, kalau pendapatan itu dari hal-hal yang wajar, dari gaji, dari bonus, dari gaji ke-13, itu sebenarnya mereka tidak mungkin bisa flexing yang berlebihan. Pamer rumah mewah, mobil mewah,” ujarnya.
ASN dipastikan bisa hidup secara layak, memiliki rumah nyaman dan kendaraan wajar. Wahyudi menyebut sejumlah merk kendaraan mahal, yang jika dimiliki seorang ASN maka ada kemungkinan itu adalah hasil kejahatan melalui jabatannya, baik berupa penyalahgunaan kewenangan ataupun korupsi.
BACA JUGA: Waspadai Kejahatan di Balik 'Flexing' KekayaanKetika ditanya, mengapa ada sejumlah ASN memiliki aset puluhan miliar dan pendapatan besar, masih bertahan sebagai pegawai dengan gaji kecil, Wahyudi menyebut ada kemungkinan dia memanfaatkan posisinya sebagai jalan untuk menambah kekayaan.
“Sebagian besar bermotivasi menjadi pejabat, karena ada keleluasaan untuk punya kekuasaan. Dan dari situ dia memanfaatkannya. Motivasinya, tentu saja adalah korupsi, menambah lagi penghasilannya, bukan semata-mata untuk mengabdi kepada rakyat,” ujarnya.
Ada mekanisme pemantauan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tetapi tidak maksimal. Begitu pula potensi konflik kepentingan terkait ASN yang diatur dalam sejumlah undang-undang. Artinya, aturan sebenarnya sudah cukup untuk mencegah ASN mendapatkan pendapatan tidak wajar dari kewenangan atau kekuasaannya. Namun, mungkin belum efektif.
Ada sejumlah kemungkinan seorang ASN memiliki harta lebih banyak dan dinilai wajar, misalnya karena usaha atau bisnis anggota keluarga lain dan memperoleh warisan.
ASN Flexing Tak Peka
Memamerkan harta, sebenarnya adalah kecenderungan setiap orang, termasuk ASN, kata dosen Fakultas Psikologi, Universitas Padjajaran, Bandung, Dr Zainal Abidin.
“Secara psikologi, ada dorongan untuk self esteem. Untuk dihargai, untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain,” kata Zainal.
Variabel lainnya, lanjut dia adalah upaya untuk menunjukkan identitas.
“Dia ingin mengatakan, siapa saya. Artinya, menunjukkan barang mewah, yang limited edition itu menunjukkan identitas diri, misalnya sebagai orang yang sukses,” tambahnya.
Namun, ada juga faktor ketiga, yaitu soal identitas sosial.
“Siapa yang ada di belakangnya. Sosialitanya itu siapa saja. Dia berteman dengan siapa. Kita bisa lihat juga, bahwa sejumlah pejabat tidak hanya memamerkan barang ketika dia sendiri, tetapi juga dengan kelompoknya. Itu menunjukkan social identity,” kata Zainal.
Flexing sebenarnya bukan tren baru. Ketika media sosial mulai populer, flexing rutin dilakukan artis atau pemengaruh. Belakangan, bahkan mereka memperoleh uang dari membuat konten flexing semacam itu.
“Yang jadi masalah adalah kalau itu dilakukan pejabat publik, atau istrinya, ASN dan keluarganya. Karena di Indonesia kita tahu, gaji ASN itu berapalah. Kalaupun dia menjadi pejabat publik di eselon 1 atau 2, itu juga tidak besar-besar amat, kalau memang penghasilannya hanya didapatkan dari pemerintah,” tegas Zainal.
Masalahnya, ASN memiliki apa yang disebut sebagai self consciousness. Zainal menjelaskan ini sebagai rasa tanggung jawab sosial dan tanggung jawab terhadap pemerintah. Lebih penting dari itu adalah karena sebagai ASN dan pejabat publik, mereka harus bisa mempertanggungjawabkan aktivitasnya karena menggunakan uang rakyat dan pajak.
Karena itu, ASN yang melakukan flexing di media sosial, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kurang berempati terhadap kondisi masyarakat.
“Karena kita tahu, kondisi ekonomi mayoritas masyarakat Indonesia seperti apa,” tegas Zainal.
BACA JUGA: Sosiolog: Imbauan Pejabat Tidak Pamer Harta di Medsos Tidak Cukup Ubah Gaya Hidup
Dilarang Pamer Dulu
Presiden, menteri, kepala lembaga negara, kepala badan, hingga kepala daerah langsung mengeluarkan surat himbauan terkait tren flexing ini. Pesan hidup sederhana juga berulang menggema di berbagai kantor pemerintah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah salah satu menteri yang getol menyuarakan hal ini karena kementeriannya paling disorot terkait budaya pamer abak buahnya.
Ketika melantik sejumlah pejabat pada 17 Maret 2023 lalu di kantornya, Sri Mulyani kembali menyampaikan pesan tegas.
“Pertama, jalankan sumpah jabatan yang baru saja anda ucapkan. Tidak perlu saya ulang, di situ sudah cukup sangat jelas mengenai apa yang seharusnya Anda semua lakukan. Kemudian, menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan, menjaga etika publik berarti juga asas kepatutan dan juga asas sopan santun. Yang ketiga, jaga integritas,” kata Sri Mulyani.
Dia bahkan menempatkan dia pegiat antikorupsi, yaitu Amien Sunaryadi (mantan Ketua KPK) dan Zainal Arifin Mochtar (akademisi UGM) sebagai Ketua dan Wakil Ketua Komwas Perpajakan.
Kegerahan juga muncul di Kementerian Sekretariat Negara, setelah istri salah satu pejabatnya terungkap hobi pamer harta. Dalam pernyataan tertulis, Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Kemensetneg, Eddy Cahyono Sugiarto mengatakan pihaknya akan berkonsultasi dengan KPK, PPATK, dan lembaga lainnya untuk mendapatkan fakta dan data yang komprehensif.
“Sebagai dasar menindaklanjuti ketidakwajaran perolehan harta pejabat yang bersangkutan, dan akan mengumumkan hasilnya kepada publik sebagai komitmen Kemensetneg untuk mendukung pemberantasan KKN dan praktik-praktik yang bertentangan dengan hukum,” ujar Eddy pada 19 Maret 2023.
Efektivitas Dipertanyakan
Seberapa mampu himbauan itu menekan flexing di kalangan pejabat? Menurut Zainal Abidin, dalam jangka pendek mungkin efektif. Namun, jika ingin memperoleh dampak jangka panjang, harus ada sanksi yang menyertainya. Bahkan dalam kasus tertentu, sanksi hukum diperlukan bagi ASN yang terbukti memperkayan diri secara tidak sah.
Di luar itu, masyarakat juga berperan untuk memberikan sanksi sosial dan moral. Warganet diminta untuk tidak mudah terkesima oleh tindakan pamer barang mewah di media sosial. Bahkan, komentar negatif harus diberikan jika menemukan akun media sosial milik pejabat publik atau keluarganya, dipakai untuk pamer harta.
Jika komentar negatif terus diberikan, ASN dan keluarganya tidak akan melakukan flexing lagi. Karena tindakan pamer dimaksudkan untuk menimbulkan kekaguman dari orang yang melihatnya.
“Harusnya beri komen kritis, bukan pujian, ini jarang dilakukan warganet di Indonesia. Ada kecenderungan warganet mengapresiasi barang atau prestasi yang dia tidak miliki. Dan ini menjadi semacam reward bagi mereka, untuk terus memperlihatkan barang-barang mewah,” papar Zainal.
Tindak tegas juga dinilai penting oleh Profesor Wahyudi Kumorotomo. Alasannya, ASN yang pamer kekayaan tidak melihat situasi nyata masyarakat Indonesia.
“Apakah mereka ini sensitif terhadap situasi Indonesia, yang sebagian besar orang masih berpendapatan di bawah standar, di bawah Rp5 juta per bulan. Bahkan ada yang di bawah $2 per hari,” tegasnya.
Di sisi lain, ketika ada ASN atau keluarganya pamer kekayaan, Wahyudi justru menilai itu menjadi jalan masuk bagi aparat hukum untuk memeriksa lebih jauh, apakah kekayaan itu diperoleh secara wajar atau tidak. Setidaknya, harta yang dipamerkan itu bisa dicocokkan dengan LHKPN yang mereka laporkan. [ns/ab]