Warga sipil pendukung Presiden Bashar al-Assad menyatakan kelegaan setelah Assad menerima proposal Rusia untuk menempatkan senjata kimia Suriah dalam pengawasan PBB.
Penerimaan Presiden Suriah Bashar al-Assad secara prinsip atas proposal Rusia untuk menempatkan semua senjata kimianya dalam pengawasan PBB tampaknya menghadapi perlawanan dari militer negara itu, menurut para analis. Tetapi seperti dilaporkan wartawan VOA Jamie Dettmer dari Beirut, Assad tidak punya banyak pilihan akibat tekanan dari Iran dan Rusia.
Warga sipil pendukung Presiden Bashar al-Assad minggu ini menyatakan kelegaan mereka setelah pemimpin itu menerima proposal Rusia untuk menempatkan senjata kimia negaranya dalam pengawasan PBB.
Penerimaan Assad itu membuka diplomasi internasional, yang menunda rencana Amerika melakukan aksi militer terhadap militer Suriah yang diduga melakukan serangan senjata kimia bulan lalu di pinggiran kota
Damaskus.
Warga sipil merasa lega, tetapi tidak semua pihak dalam rezim Assad senang dengan hal ini.
Para analis militer Suriah mengatakan pihak-pihak bergaris keras tampak akan menolak di tengah berkembangnya diplomasi internasional.
Aram Nerguizian, analis di CSIS, lembaga riset di Washington mengatakan, “Pastinya akan ada pihak-pihak yang khawatir didalam rezim itu. Saya tidak ragu akan ada respon negatif dari dalam militer mengenai isu-isu seperti menyerahkan senjata kimia.”
Yezid Sayigh, analis senior pada Pusat Timur Tengah di lembaga Carnegie Endowment, setuju. Ia mengatakan, “Bagi beberapa pihak di dalam rezim, kehilangan kemampuan senjata kimia – yang mungkin menjadi ujung dari proses ini – adalah sesuatu yang mungkin mereka anggap berbahaya dan mengancam.”
Meski mengakui bahwa sulit untuk mengetahui apa yang terjadi dalam lingkaran dalam Assad yang rahasia, Sayigh yakin presiden Suriah itu mungkin menyalahkan para pimpinan militernya atas serangan senjata kimia yang diduga terjadi 21 Agustus lalu. Serangan itu diduga adalah penggunaan terbesar gas syaraf dalam perang saudara yang telah berjalan dua setengah tahun tersebut.
Rezim Assad membantah berada di balik serangan itu dan menuduh para pemberontak yang melakukan serangan senjata kimia itu. Sementara Amerika mengatakan, mereka yakin bahwa pasukan Suriah melakukan serangan yang disebut menewaskan sekitar 1.400 orang itu.
Berbagai kelompok HAM mengatakan sudah ada sejumlah serangan kimia sebelumnya oleh pasukan pemerintah Suriah selama konflik ini. Tetapi mereka mengatakan serangan-serangan itu berskala lebih kecil dan menewaskan korban lebih sedikit.
Perlindungan oleh Rusia dan Iran penting demi kelanjutan pemerintahan Assad. Rusia mengatakan ada banyak alasan untuk menyalahkan pemberontak atas serangan kimia itu, sementara Iran mendesak dunia Barat agar mencari penyelesaian diplomasi untuk krisis Suriah.
Warga sipil pendukung Presiden Bashar al-Assad minggu ini menyatakan kelegaan mereka setelah pemimpin itu menerima proposal Rusia untuk menempatkan senjata kimia negaranya dalam pengawasan PBB.
Penerimaan Assad itu membuka diplomasi internasional, yang menunda rencana Amerika melakukan aksi militer terhadap militer Suriah yang diduga melakukan serangan senjata kimia bulan lalu di pinggiran kota
Damaskus.
Warga sipil merasa lega, tetapi tidak semua pihak dalam rezim Assad senang dengan hal ini.
Para analis militer Suriah mengatakan pihak-pihak bergaris keras tampak akan menolak di tengah berkembangnya diplomasi internasional.
Aram Nerguizian, analis di CSIS, lembaga riset di Washington mengatakan, “Pastinya akan ada pihak-pihak yang khawatir didalam rezim itu. Saya tidak ragu akan ada respon negatif dari dalam militer mengenai isu-isu seperti menyerahkan senjata kimia.”
Yezid Sayigh, analis senior pada Pusat Timur Tengah di lembaga Carnegie Endowment, setuju. Ia mengatakan, “Bagi beberapa pihak di dalam rezim, kehilangan kemampuan senjata kimia – yang mungkin menjadi ujung dari proses ini – adalah sesuatu yang mungkin mereka anggap berbahaya dan mengancam.”
Meski mengakui bahwa sulit untuk mengetahui apa yang terjadi dalam lingkaran dalam Assad yang rahasia, Sayigh yakin presiden Suriah itu mungkin menyalahkan para pimpinan militernya atas serangan senjata kimia yang diduga terjadi 21 Agustus lalu. Serangan itu diduga adalah penggunaan terbesar gas syaraf dalam perang saudara yang telah berjalan dua setengah tahun tersebut.
Rezim Assad membantah berada di balik serangan itu dan menuduh para pemberontak yang melakukan serangan senjata kimia itu. Sementara Amerika mengatakan, mereka yakin bahwa pasukan Suriah melakukan serangan yang disebut menewaskan sekitar 1.400 orang itu.
Berbagai kelompok HAM mengatakan sudah ada sejumlah serangan kimia sebelumnya oleh pasukan pemerintah Suriah selama konflik ini. Tetapi mereka mengatakan serangan-serangan itu berskala lebih kecil dan menewaskan korban lebih sedikit.
Perlindungan oleh Rusia dan Iran penting demi kelanjutan pemerintahan Assad. Rusia mengatakan ada banyak alasan untuk menyalahkan pemberontak atas serangan kimia itu, sementara Iran mendesak dunia Barat agar mencari penyelesaian diplomasi untuk krisis Suriah.