Para pejabat imigrasi Australia membela aturan yang membatasi pers meliput pusat-pusat pemrosesan imigran.
SYDNEY —
Delapan belas bulan lalu Radio ABC mengatakan pusat-pusat tahanan imigrasi negara itu “kurang terbuka dan transparan daripada Guantanamo Bay.”
Sejak itu, Departemen Imigrasi memberi wartawan kesempatan terbatas untuk memasuki fasilitas penahanan berdasarkan Akta Perjanjian mengenai akses media.
Wartawan diizinkan berbicara dengan para tahanan, tetapi tidak diizinkan mewawancarai mereka secara resmi atau merekam komentar-komentar mereka. Wartawan juga tidak dizinkan memuat foto wajah para tahanan.
Para pejabat imigrasi mengatakan, aturan-aturan itu diberlakukan untuk melindungi kerahasiaan para pencari suaka, sama seperti halnya pada anak sekolah atau pasien rumah sakit yang kerahasiaan pribadi mereka dilindungi dari pers di Australia.
Sementara para wartawan diizinkan mengunjungi fasilitas-fasilitas pemrosesan imigrasi, mereka dilarang mengunjungi kamp-kamp yang baru-baru ini dibuka lagi di Papua New Guinea dan pulau kecil di Pasifik Selatan, Nauru, yang menjadi tempat penampungan para pencari suaka dari Sri Lanka, Afghanistan, Irak, Iran, dan Pakistan.
Juru Bicara Departemen Imigrasi Australia, Sandi Logan, mengatakan di muka forum di Universitas Teknologi Sydney, ia berharap pers pada akhirnya bisa diizinkan masuk.
“Saya harus mengatakan, secara operasional terdapat jauh lebih banyak hal yang harus diprioritaskan di Nauru pada saat ini daripada kebijakan akses bagi media. Namun, saya rasa, sangat penting sekali wartawan bisa masuk ke fasilitas itu dan juga fasilitas di Papua New Guinea,” ujarnya.
Para wartawan Australia mengatakan bahwa Akta Perjanjian yang mengatur kunjungan ke pusat-pusat penahanan terlalu ketat, dan mencegah mereka membeberkan kisah sesungguhnya kondisi di balik pagar kawat berduri itu.
Kepala Dewan Pers Australia, Julian Disney, mengatakan, rakyat berhak tahu.
“Orang-orang di pusat-pusat penahanan itu ada di sana karena kebijakan pemerintah yang disahkan oleh pemerintah yang kita pilih dan berdampak besar pada semua orang, bahkan yang bukan warga negara Australia. Karena itu, sebagai warga negara, rakyat Australia berhak tahu apa saja dampak kebijakan pemerintah. Saya rasa, dari berbagai sudut pandang, aturan ini terlalu ketat,” ujarnya.
Sejak aturan itu dilaksanakan tahun lalu, sekitar 50 wartawan, termasuk wartawan dari Swis dan Jerman, telah mengunjungi pusat-pusat penahanan imigrasi di daratan Australia.
Tidak jelas kapan pers diberi izin memasuki dua pusat penahanan milik Australia di Pulau Manus di Papua new Guinea, yang dibuka lagi Rabu, dan lainnya di pulau kecil di Pasifik Selatan, Republik Nauru, yang dibuka lagi September lalu.
Sejak itu, Departemen Imigrasi memberi wartawan kesempatan terbatas untuk memasuki fasilitas penahanan berdasarkan Akta Perjanjian mengenai akses media.
Wartawan diizinkan berbicara dengan para tahanan, tetapi tidak diizinkan mewawancarai mereka secara resmi atau merekam komentar-komentar mereka. Wartawan juga tidak dizinkan memuat foto wajah para tahanan.
Para pejabat imigrasi mengatakan, aturan-aturan itu diberlakukan untuk melindungi kerahasiaan para pencari suaka, sama seperti halnya pada anak sekolah atau pasien rumah sakit yang kerahasiaan pribadi mereka dilindungi dari pers di Australia.
Sementara para wartawan diizinkan mengunjungi fasilitas-fasilitas pemrosesan imigrasi, mereka dilarang mengunjungi kamp-kamp yang baru-baru ini dibuka lagi di Papua New Guinea dan pulau kecil di Pasifik Selatan, Nauru, yang menjadi tempat penampungan para pencari suaka dari Sri Lanka, Afghanistan, Irak, Iran, dan Pakistan.
Juru Bicara Departemen Imigrasi Australia, Sandi Logan, mengatakan di muka forum di Universitas Teknologi Sydney, ia berharap pers pada akhirnya bisa diizinkan masuk.
“Saya harus mengatakan, secara operasional terdapat jauh lebih banyak hal yang harus diprioritaskan di Nauru pada saat ini daripada kebijakan akses bagi media. Namun, saya rasa, sangat penting sekali wartawan bisa masuk ke fasilitas itu dan juga fasilitas di Papua New Guinea,” ujarnya.
Para wartawan Australia mengatakan bahwa Akta Perjanjian yang mengatur kunjungan ke pusat-pusat penahanan terlalu ketat, dan mencegah mereka membeberkan kisah sesungguhnya kondisi di balik pagar kawat berduri itu.
Kepala Dewan Pers Australia, Julian Disney, mengatakan, rakyat berhak tahu.
“Orang-orang di pusat-pusat penahanan itu ada di sana karena kebijakan pemerintah yang disahkan oleh pemerintah yang kita pilih dan berdampak besar pada semua orang, bahkan yang bukan warga negara Australia. Karena itu, sebagai warga negara, rakyat Australia berhak tahu apa saja dampak kebijakan pemerintah. Saya rasa, dari berbagai sudut pandang, aturan ini terlalu ketat,” ujarnya.
Sejak aturan itu dilaksanakan tahun lalu, sekitar 50 wartawan, termasuk wartawan dari Swis dan Jerman, telah mengunjungi pusat-pusat penahanan imigrasi di daratan Australia.
Tidak jelas kapan pers diberi izin memasuki dua pusat penahanan milik Australia di Pulau Manus di Papua new Guinea, yang dibuka lagi Rabu, dan lainnya di pulau kecil di Pasifik Selatan, Republik Nauru, yang dibuka lagi September lalu.