Kedatangan kapal-kapal yang membawa pencari suaka di daratan Australia telah menghidupkan kembali perdebatan politik di Canberra, mengenai kebijakan imigrasi dan perlindungan perbatasan.
Sekitar 40 pria, dilaporkan berasal dari Pakistan dan Bangladesh, ditemukan di dekat komunitaspPribumi terpencil, dekat Teluk Beagle di Australia Barat.
Mereka diterbangkan ke pusat pemrosesan migran yang disponsori Australia di pulau kecil Nauru di Pasifik, di mana klaim pengungsi mereka akan dievaluasi.
Selama lebih dari satu dekade, Australia telah menerapkan kebijakan perlindungan perbatasan yang ketat.
Sejak 2013, Angkatan Laut Australia telah diperintahkan untuk menghalau atau menghalangi kapal-kapal migran yang mencoba mencapai Australia. Kebijakan tersebut dinamakan Operation Sovereign Borders (Operasi Kedaulatan Perbatasan) dan mendapat dukungan dari kedua partai besar di Canberra.
BACA JUGA: Australia akan Berikan Visa Permanen kepada Ribuan PengungsiPemimpin oposisi konservatif Peter Dutton mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintahan Partai Buruh telah kehilangan kendali atas perbatasan negara.
“Saya tidak tahu apakah tingkat pengawasan yang dilakukan sama seperti saat kami berada di pemerintahan," katanya.
Namun Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan kepada media lokal bahwa pemerintahannya tetap berkomitmen untuk mengamankan perbatasan maritim Australia.
“Operasi Kedaulatan Perbatasan sudah dilaksanakan. Jika Anda tiba di sini dengan perahu, Anda tidak akan menetap di sini," ujarnya.
Para migran yang tiba dengan perahu untuk mencari suaka di Australia tidak melakukan kejahatan. Australia menyebut mereka sebagai “kedatangan yang tidak sah lewat laut.”
Jumlah kedatangan perahu migran di Australia relatif kecil dalam beberapa tahun terakhir. Media lokal melaporkan bahwa 199 migran tiba dengan tujuh perahu pada tahun 2022 dan 74 orang tiba dengan empat perahu pada tahun 2023. [lt/ns]