Badan Keamanan Tertinggi Thailand akan Keluarkan Putusan Soal Penahanan Grup Band Rusia

FILE - Aleksandr "Shura" Uman, kiri, dan Yegor "Lyova" Bortnik tampil saat konser band rock Bi-2 di Moskow, Rusia, Kamis, 1 Desember 2011. (AP/Pavel Golovkin)

Perdana Menteri dan kepala keamanan Thailand akan memutuskan kasus band rock pembangkang asal Rusia-Belarus yang ditahan atas tuduhan imigrasi, kata seorang menteri, Rabu (31/1), seiring dengan meningkatnya seruan agar mereka tidak dideportasi ke Rusia.

Pejabat imigrasi Thailand menahan para anggota band Bi-2, yang mengkritik Presiden Rusia Vladimir Putin dan perang di Ukraina, pekan lalu setelah mereka tampil di Phuket, sebuah pulau di selatan negara itu yang populer di kalangan wisatawan Rusia.

Human Rights Watch (HRW) mengatakan mereka akan menghadapi "penganiayaan" jika kembali ke Rusia, merujuk pada komentar juru bicara Kementerian Luar Negeri Kremlin yang menuduh kelompok tersebut "mensponsori terorisme".

“Dewan Keamanan Nasional sedang menyelidiki masalah ini, melihat rinciannya termasuk nama anggota band dan kewarganegaraannya,” kata Menteri Luar Negeri Thailand Parnpree Bahiddha-Nukara kepada wartawan.

Beberapa anggota Bi-2 memiliki kewarganegaraan ganda, termasuk Australia dan Israel. “Jika anggota band tersebut tidak melanggar hukum apa pun, kami tidak bisa mendeportasi mereka begitu saja karena ada hukum internasional mengenai hal ini,” kata Parnpree. “Tetapi jika mereka melanggar hukum, kami harus bertindak sesuai prosedur hukum.”

Dewan Keamanan Nasional diketuai oleh Perdana Menteri Srettha Thavisin dan beranggotakan para menteri senior serta pejabat militer dan polisi. Ini adalah badan tertinggi kerajaan yang berfungsi mengoordinasikan kebijakan keamanan nasional.

Salah satu anggota band, penyanyi Egor Bortnik, yang dikenal dengan nama panggung Lyova, telah meninggalkan Thailand, menurut sebuah postingan di akun Telegram resmi Bi-2, Rabu (31/1).

“Lyova Bi-2 terbang ke Israel, sementara para anggota lainnya masih berada di sel sempit penjara migrasi yang berkapasitas 80 orang,” tulis postingan tersebut.

Para pejabat Thailand telah mengonfirmasi bahwa mereka menangkap "tujuh atau delapan" orang pekan lalu di Phuket karena tampil tanpa izin kerja yang benar, dan mengatakan mereka bisa menghadapi deportasi.

Sumber kepolisian mengatakan kepada AFP pada hari Rabu bahwa "empat atau lima orang" kini ditahan di pusat penahanan di Bangkok.

Penyelenggara konser di Thailand, VPI Event, mengatakan semua izin yang diperlukan telah diperoleh, namun band tersebut diberi visa turis karena kesalahan. “Biasanya, dalam kasus seperti ini, layanan migrasi menghubungi penyelenggara acara untuk menerapkan sanksi yang sesuai,” kata VPI.

Anggota keamanan berjaga di luar Pusat Penahanan Imigrasi di Bangkok, Thailand, Selasa, 30 Januari 2024. Anggota Bi-2, band rock pembangkang yang berkunjung dan mengkritik perang Moskow di Ukraina, ditangkap Kamis di resor selatan Thailand pulau Phuket. (AP/Sakchai Lalit)

Namun dalam kasus ini, perhatian dinas migrasi hanya terfokus pada para anggota band itu.

VPI mengatakan konsulat Rusia telah melakukan kampanye untuk membatalkan konser tersebut sejak Desember. “Kami melakukan segala upaya untuk membebaskan para artis, namun kami menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kami berharap situasi ini dapat diselesaikan dengan baik dalam waktu dekat,” kata VPI.

Pemimpin oposisi Belarusia di pengasingan Svetlana Tikhanovskaya mendesak Thailand untuk “menemukan solusi” untuk menjamin kebebasan band tersebut.

“Saya khawatir dengan situasi yang dialami band rock kelahiran Belarus Bi-2,” tulisnya di platform media sosial X. “Sekarang jelas sekali bahwa Rusia berada di balik operasi deportasi kelompok tersebut.”

Bi-2 terkenal di Rusia. Beberapa konser mereka dibatalkan pada tahun 2022 setelah mereka menolak tampil di tempat yang memiliki spanduk mendukung perang di Ukraina. Setelah itu, mereka meninggalkan Rusia.

Salah satu pendiri band ini secara terbuka mengecam pemerintahan Putin, dengan mengatakan bahwa pemerintahannya itu membuatnya merasa "muak" dan menuduh pemimpin yang sudah lama menjabat itu telah "menghancurkan" Rusia.

HRW mengatakan Rusia memiliki sejarah menargetkan para pengkritik pemerintah di luar negeri dan mendesak Thailand untuk membebaskan kelompok tersebut.

“Pihak berwenang Thailand harus segera membebaskan anggota Bi-2 yang ditahan dan mengizinkan mereka melanjutkan perjalanan mereka,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan.

“Dalam situasi apa pun mereka tidak boleh dideportasi ke Rusia, di mana mereka bisa ditangkap atau lebih buruk lagi karena kritik mereka yang terang-terangan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin dan perang Rusia di Ukraina.” [ab/uh]