Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) kini mengakui bahwa Covid-19 dapat menyebar melalui partikel-partikel kecil di udara dalam jarak yang jauh dan selama berjam-jam pada suatu waktu.
CDC telah lama menegaskan bahwa virus corona ditularkan terutama antara orang-orang yang berdiri dalam jarak dua meter satu sama lain, melalui percikan yang keluar karena berbicara, bernapas, batuk atau bersin.
Tetapi CDC memperbarui pedomannya di situs webnya hari Senin yang mengutip bukti dari riset terdahulu bahwa virus itu dapat bertahan di udara melalui percikan kecil yang dikenal sebagai aerosol dalam “situasi terbatas dan tidak biasa” di mana seseorang dengan Covid-19 menularkan orang lain dalam jarak lebih dari dua meter atau tidak lama setelah orang yang terjangkit meninggalkan tempat tersebut.
BACA JUGA: CDC: Covid-19 Bisa Menular melalui UdaraPedoman yang diperbarui menyatakan penularan dalam kasus seperti itu “terjadi di ruang tertutup dan berventilasi buruk yang kerap melibatkan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan bernapas lebih berat, seperti bernyanyi atau berolahraga, yang mungkin menyebabkan “penumpukan partikel-partikel pembawa virus.”
CDC mengunggah pedoman serupa bulan lalu yang menyatakan virus dapat menyebar melalui aerosol dalam jarak yang jauh. Tetapi CDC mendadak menghapus pedoman itu beberapa hari kemudian, seraya menyatakan keliru mengunggahnya sebelum melewati peninjauan teknis yang tepat.
Metode bagaimana Covid-19 ditularkan telah menjadi perdebatan sengit di kalangan pakar kesehatan selama berbulan-bulan. Pada Juli lalu, lebih dari 200 ilmuwan dari 30 negara menerbitkan surat terbuka kepada Organisasi Kesehatan Dunia yang mendesak badan dunia ini agar mempertimbangkan bukti bahwa virus itu dapat menyebar melalui udara.
BACA JUGA: CDC Rilis Panduan Rayakan HalloweenPenelitian lain yang diterbitkan hari Senin (6/10) mengungkapkan bahwa hampir sepertiga pasien Covid-19 yang diopname mengalami sejumlah jenis gangguan neurologis, termasuk kebingungan, sakit kepala, pusing atau nyeri otot. Para peneliti mengamati lebih dari 500 pasien virus corona yang diopname di sistem rumah sakit di Chicago antara Maret dan April, hari-hari awal perebakan wabah di AS.
Para peneliti mendapati hanya 32 persen pasien dengan gangguan neurologis yang mampu menjalankan aktivitas rutin harian setelah keluar dari rumah sakit, seperti memasak atau menangani isu-isu finansial, sementara 89 persen pasien lainnya tidak mengalami masalah seperti itu.
Para peneliti menyatakan gejala neurologis yang paling parah adalah ensefalopati, yang ditandai oleh “perubahan fungsi mental mulai dari kebingungan ringan hingga koma."
Sementara itu, beberapa media berita AS menyatakan Gedung Putih telah menolak proposal Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk menerapkan seperangkat pedoman baru yang ketat untuk pemberian izin darurat vaksin baru Covid-19. Peraturan baru yang akan mengharuskan produsen obat untuk mengamati partisipan dalam uji klinis tahap akhir selama sedikitnya dua bulan setelah menerima dosis kedua sekaligus terakhir vaksin eksperimental, akan membuat vaksin yang mungkin dihasilkan jauh melewati pemilihan presiden 3 November, bertentangan dengan prediksi yang dikemukakan Presiden Donald Trump. [uh/ab]