Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan beberapa organisasi nirlaba internasional pada Sabtu (12/10) mengungkapkan "kekhawatiran yang mendalam" atas rencana Houthi Yaman untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap sejumlah besar staf mereka yang "ditahan secara sewenang-wenang." Mereka mendesak para pemberontak tersebut untuk segera membebaskan para tahanan.
Pemerintah Houthi yang didukung Iran menahan puluhan staf dari PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya, sebagian besar sejak Juni, karena tuduhan bahwa mereka anggota adalah "jaringan mata-mata Amerika Serikat-Israel. PBB menolak tudingan itu.
"Kami sangat khawatir tentang laporan mengenai rujukan untuk 'penuntutan pidana' oleh otoritas de facto Houthi terhadap banyak rekan kerja yang ditahan secara sewenang-wenang," ujar sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh para pemimpin entitas PBB yang terdampak =, dan organisasi nirlaba internasional.
Otoritas Houthi belum mengeluarkan pernyataan apa pun terkait hal ini.
Para penandatangan pernyataan tersebut termasuk di antaranya Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kepala UNESCO Audrey Azoulay, Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk, dan Direktur Eksekutif Oxfam International Amitabh Behar.
Menurut kelompok hak asasi manusia, Houthi telah menculik, menahan secara sewenang-wenang, dan menyiksa ratusan warga sipil, termasuk pekerja PBB dan LSM, sejak perang saudara di Yaman pecah pada 2014.
Pada Juni, kelompok Houthi kembali menahan 13 personel PBB, termasuk enam karyawan Kantor Hak Asasi Manusia, dan lebih dari 50 staf LSM, ditambah seorang anggota staf kedutaan.
Kelompok Houthi mengklaim berhasil menangkap "jaringan mata-mata Amerika-Israel" yang beroperasi di bawah kedok organisasi kemanusiaan, tuduhan yang dengan tegas ditolak oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB.
Dua staf hak asasi manusia PBB lainnya ditahan masing-masing sejak November 2021, dan Agustus 2023. Mereka semua ditahan tanpa mendapatkan akses komunikasi.
BACA JUGA: Houthi Serang Kapal Tanker di Lepas Pantai YamanPada awal Agustus, Houthi menyerbu kantor UNHCR, memaksa staf untuk menyerahkan kunci, dan menyita dokumen serta properti, sebelum mengembalikannya pada akhir bulan itu.
Para penandatangan pernyataan pada Sabtu (12/10) mengulangi "permohonan mendesak untuk pembebasan segera dan tanpa syarat" bagi semua staf yang ditahan.
Houthi menyerbu ibu kota Sanaa pada 2014 dan menguasai sebagian besar kota-kota besar di negara itu. Mereka memaksa pemerintah, yang diakui secara internasional, untuk melarikan diri ke Aden.
Sebuah koalisi yang dipimpin Saudi melakukan intervensi pada 2015 untuk membantu pemerintah yang terkepung.
Perang di Yaman mengakibatkan ratusan ribu orang tewas, dan memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Sejak negosiasi gencatan senjata enam bulan yang dimediasi oleh PBB pada April 2022, pertempuran menurun secara signifikan. [ah/ft]