Bagaimana Hamas Membangun 'Pasukan Mini' Melawan Israel

Asap mengepul selama serangan udara Israel di Kota Gaza pada 12 Oktober 2023 saat pertempuran sengit antara Israel dan gerakan Hamas berlanjut selama enam hari berturut-turut. (Foto: AFP)

Pasukan Israel yang bersiap untuk menginvasi Gaza dalam misi menghancurkan Hamas, akan menghadapi lawan yang semakin kuat. Kelompok militan Palestina itu semakin cakap karena selama bertahun-tahun dilatih oleh jaringan pendukung bawah tanah yang mencakup Iran dan kelompok sekutu Arab di luar wilayah kecil tersebut.

Serangan mematikan Hamas di selatan Israel pada enam hari yang lalu merupakan bukti berkembangnya keahlian militer mereka sejak mengambil alih Gaza pada 2007. Serangan pekan lalu cukup mencengangkan, belum pernah terjadi sebelumnya terkait perencanaan dan skala oleh Hamas.

“Kebutuhan adalah sumber dari penemuan,” kata Ali Baraka, seorang pejabat senior Hamas. Ia menambahkan bahwa kelompok tersebut telah lama memanfaatkan aliran dana dan pelatihan dari Iran dan proksi regional Iran seperti Hizbullah Lebanon, sambil memperkuat pasukannya sendiri di Gaza.

Kesulitan dalam mengimpor senjata berarti bahwa selama sembilan tahun terakhir “kami mengembangkan kemampuan kami dan mampu memproduksinya secara lokal,” kata Baraka, yang berbasis di Lebanon.

Seorang warga Palestina yang terluka tertolong dari reruntuhan menyusul serangan rudal Israel di Rafah, Jalur Gaza selatan, Sabtu, 27 Desember 2008. (Foto: AP)

Dalam perang Gaza yang meletus pada 2008, roket Hamas memiliki jangkauan maksimum 40 km. Daya jangkauan roket tersebut meningkat menjadi 230 km pada konflik 2021, tambahnya.

Pada saat ini organisasi yang bersifat rahasia dan luat itu sangat berbeda dibandingkan dengan kelompok kecil Palestina pada 36 tahun yang silam. Saat itu kelompok itu hanya sanggup mengeluarkan selebaran pertamanya sebagai protes atas pendudukan Israel. Kesimpulan itu diambil berdasarkan wawancara Reuters dengan 11 orang yang mengetahui kemampuan kelompok tersebut, termasuk anggota Hamas, pejabat keamanan regional, dan ahli militer.

“Mereka adalah pasukan mini,” kata seorang sumber yang dekat dengan Hamas di Jalur Gaza, yang menolak disebutkan namanya karena masalah itu sensitif. Dia mengatakan kelompok tersebut memiliki akademi militer yang melatih berbagai spesialisasi termasuk keamanan siber, dan membanggakan unit komando angkatan laut di antara sayap militernya yang berkekuatan 40.000 orang.

Sebaliknya, pada era 1990an Hamas hanya memiliki kurang dari 10.000 anggota, menurut situs globalsecurity.org.

Seorang pendukung Hamas Palestina menghadiri protes terhadap serangan Israel di Jalur Gaza, di Kota Gaza, pada 3 Maret 2008. (Foto: AP)

Sejak awal 2000an, kelompok tersebut membangun jaringan terowongan di bawah Gaza untuk membantu pasukannya melarikan diri, mendirikan pabrik senjata dan mendatangkan senjata dari luar negeri, menurut sumber keamanan regional, yang juga menolak diungkapp identitasnya. Kelompok tersebut memperoleh pasokan bom, mortir, roket, rudal anti-tank dan anti-pesawat, kata para pejabat Hamas.

Peningkatan kemampuan ini membuahkan hasil yang semakin mematikan selama bertahun-tahun. Israel kehilangan sembilan tentara pada serangan 2008. Pada 2014, jumlahnya melonjak menjadi 66 orang.

HA. Hellyer, rekan senior di Royal United Services Institute Inggris, mengatakan Israel mampu menghancurkan Hamas dalam serangan yang diperkirakan akan terjadi di daerah kantong padat penduduk tersebut.

"Pertanyaannya bukan apakah hal itu mungkin atau tidak. Pertanyaannya adalah bagaimana dampak terhadap seluruh populasi, karena Hamas tidak tinggal di sebuah pulau di lautan atau di sebuah gua di padang pasir,” katanya.

BACA JUGA: Mohammed Deif, Otak Di Balik Serangan Dahsyat Hamas ke Israel

Setelah perang Gaza Meletus pada 2021, Hamas dan kelompok terafiliasi yang disebut Jihad Islam Palestina berhasil mempertahankan sekitar 40 persen dari persediaan misil mereka, yang merupakan target utama bagi pihak Israel, menurut Jewish Institute for National Security of America, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Mereka berhasil menyimpan sekitar 11.750 misil dibandingkan dengan 23.000 sebelum konflik tersebut pecah.

Pertahanan yang Luar Biasa

Hamas, yang piagam pendiriannya pada 1988 menyerukan dihancurkannya Israel, disebut sebagai organisasi teroris oleh Israel, AS, Uni Eropa, Kanada, Mesir dan Jepang.

Bagi Iran, kehadiran Hamas justru membantu mereka dalam mewujudkan ambisi selama bertahun-tahun untuk mengepung Israel dengan legiun paramiliter, termasuk faksi Palestina lainnya dan Hezbollah Lebanon, menurut pejabat Barat. Dengan persenjataan canggih, mereka memiliki permusuhan jangka panjang terhadap pendudukan Israel di tanah Palestina.

Para pemimpin kelompok ini tersebar di negara-negara Timur Tengah termasuk Lebanon dan Qatar. Namun basis kekuatannya tetap di Gaza. Mereka mendesak warga Gaza untuk tidak mengindahkan seruan Israel untuk meninggalkan tanah air mereka menjelang gempuran invasi darat yang diperkirakan akan terjadi, menyusul pengeboman Israel selama berhari-hari yang merenggut sekitar 1.800 nyawa.

Seorang tentara Israel mengacungkan tanda V saat menuju perbatasan Jalur Gaza di Israel selatan, Sabtu, 14 Oktober 2023. (Foto: AP/Ariel Schalit)

Dalam serangan mendadak pada 7 Oktober, yang merupakan pembobolan pertahanan Israel yang terburuk dalam 50 tahun terakhir, Hamas menembakkan lebih dari 2.500 roket. Pada saat bersamaan para anggotanya merangsek ke wilayah Israel dengan menggunakan paralayang, sepeda motor, dan kendaraan roda empat. Mereka membobol pertahanan Israel dan menghancurkan kota-kota dan wilayah pemukiman. Serangan itu menewaskan 1.300 orang dan menyandera puluhan orang.

Sumber yang dihubungi Reuters mengatakan bahwa meskipun Iran melatih, mempersenjatai, dan mendanai kelompok tersebut, tidak ada indikasi bahwa Teheran mengarahkan atau mengizinkan serangan tersebut.

"Keputusan, saat-saat kritis, semuanya berada di tangan Hamas - tetapi tentu saja kerja sama, pelatihan, dan persiapan semuanya berasal dari Iran," kata sumber keamanan regional tersebut.

Teheran mengakui pihaknya membantu mendanai dan melatih Hamas. Namun, membantah terlibat dalam serangan tersebut, meski memuji serangan itu.

Pemimpin Hamas Palestina Ismail Haniyeh berbicara kepada media setelah pertemuannya dengan para pejabat Mesir di misi diplomatik Mesir di Kota Gaza, Jumat, 10 Februari 2006. (Foto: AP)

Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan televisi Al Jazeera pada tahun lalu bahwa kelompoknya menerima sokongan di bidang militer sebesar $70 juta dari Iran. “Kami punya roket yang diproduksi di dalam negeri, tapi roket jarak jauhnya datang dari luar negeri, dari Iran, Suriah, dan lainnya melalui Mesir,” tambahnya.

Menurut laporan Departemen Luar Negeri AS pada 2020, Iran menyokong dana sekitar 100 juta dollar AS atau sekitar 1,57 triliun rupiah per tahun kepada kelompok-kelompok Palestina, termasuk Hamas, Jihad Islam Palestina, dan Front Populer untuk Komando Umum Pembebasan Palestina.

Sumber keamanan Israel mengatakan bahwa aliran dana Iran untuk sayap militer Hamas semakin deras, dari 100 juta dollar AS menjadi sekitar 350 juta dollar AS atau setara 5,5 triliun rupiah per tahun sejak tahun lalu.

Pendiri Hamas Syeikh Yassin

Gagasan berdirinya organisasi Hamas – yang berarti semangat dalam bahasa Arab – mulai terbentuk pada 10 Desember 1987. Saat itu beberapa anggota Ikhwanul Muslimin berkumpul sehari setelah insiden sebuah truk tentara Israel menabrak sebuah mobil yang membawa empat pekerja harian Palestina dan menewaskan semuanya. Aksi tersebut memicu protes, termasuk di antaranya pelemparan batu, pemogokan, dan penutupan di Gaza.

BACA JUGA: 'Ini Masalah Pribadi': Gedung Putih Diguncang Serangan Hamas di Israel

Bertemu di rumah Syekh Ahmed Yassin, seorang ulama Muslim, mereka memutuskan untuk mengeluarkan selebaran pada 14 Desember yang menyerukan perlawanan ketika Intifada Pertama, atau pemberontakan, melawan Israel meletus. Seruan tersebut adalah aksi publik pertama grup tersebut.

Setelah Israel menarik diri dari Gaza pada 2005, Hamas mulai mengimpor roket, bahan peledak dan peralatan lainnya dari Iran, kata sumber intelijen Barat. Peralatan militer tersebut dikirim melalui Sudan, diangkut dengan truk melintasi Mesir dan diselundupkan ke Gaza melalui labirin terowongan sempit di bawah Semenanjung Sinai, tambah mereka.

Aliran senjata, pelatihan dan dana juga mengalir dari Iran ke sekutu paramiliter regional lainnya, yang pada akhirnya memberikan pengaruh besar bagi Teheran di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman dan Gaza.

Pendukung Palestina melakukan protes di Times Square, New York pada 13 Oktober 2023. (Foto: AFP)

Beberapa dari sekutu tersebut merupakan bagian dari “poros Syiah” yang terbentang dari paramiliter Syiah di Irak, Hizbullah di Lebanon, hingga kelompok minoritas Alawi yang berkuasa di Suriah, sebuah cabang dari Islam Syiah.

Organisasi yang berada di puncak jaringan milisi Iran adalah Hizbullah – yang didirikan di Kedutaan Besar Iran di Damaskus, Suriah, pada 1982 setelah Israel menginvasi Lebanon selama perang saudara pada 1975-1990.

Hizbullah mengebom sasaran-sasaran AS dan melakukan penyanderaan dan pembajakan, mengusir Israel dari Lebanon pada 2000 dan kemudian secara bertahap menguasai negara Lebanon.

Iran memanfaatkan kesempatan untuk membujuk Hamas pada 1992 ketika Israel mendeportasi sekitar 400 pemimpin Hamas ke Lebanon, kata sumber yang dekat dengan Hamas. Iran dan Hizbullah menjamu para anggota Hamas, berbagi teknologi militer dan melatih mereka membuat bom rakitan untuk serangan bunuh diri, tambah sumber tersebut.

BACA JUGA: Sekjen PBB: Konflik di Timur Tengah Tidak Boleh Menyebar

Baraka, pejabat Hamas, mengatakan tujuan akhir serangan 7 Oktober terhadap Israel adalah untuk membebaskan 5.000 tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Mereka juga berhadap aksinya dapat menghentikan serangan Israel terhadap Masjid Al Aqsa, situs tersuci ketiga dalam Islam, dan mencabut blokade Gaza yang telah berlangsung selama 16 tahun.

Dia memperingatkan bahwa jika serangan darat Israel terus dilakukan, yang didukung oleh AS dan Inggris, perang tidak akan terbatas pada wilayah Gaza saja, tetapi juga berpotensi meluas menjadi konflik regional.

“Bukan hanya perang Israel di Gaza, ada perang Atlantik di Gaza dengan segala kekuatan,” ujarnya. “Akan ada garis depan baru,” katanya. [ah/ft]