Bagaimana kecerdasan buatan (AI) generatif, seperti ChatGPT, akan mengubah pendidikan dan penelitian akademis?
Guru-guru di seluruh dunia membahas tantangan dan manfaat yang mungkin diperoleh dari penggunaan AI dalam pekerjaan mereka.
Beberapa pihak melihat sejumlah manfaat dari kemampuan teknologi itu untuk memproses informasi dan data, yang dapat memberikan landasan analisis kritis yang lebih mendalam bagi manusia.
Sedangkan sisanya khawatir para pelajar akan mengandalkan AI untuk mengerjakan tugas dan menyontek.
Saat ditanya apakah pelajar sebaiknya diizinkan menggunakan AI generatif sebelum ada kebijakan lebih lanjut, dosen KTH Royal Institute of Technology Prosun Bhattacharya mengatakan: “Terus terang tidak.”
Di Universitas Lund Swedia yang terkemuka, pengajar memutuskan siswa mana yang boleh menggunakan AI untuk membantu mereka mengerjakan tugas.
“Kami tidak mau ada larangan. Solusinya, kami mempunyai pendekatan yang bersifat permisif, yaitu Anda boleh menggunakannya (AI, red.) selama Anda yakin bahwa penilaiannya valid. Maksudnya, ia menguji hasil yang memang ingin kami ujikan, dan bahwa hasilnya aman, yang berarti kami tahu siswa itu mengerjakan tugas yang kami nilai. Itu tidak selalu mudah, tapi akan membaik seiring waktu," jelas Rachel Forsyth, manajer proyek di Kantor Pengembangan Strategis kampus itu.
Hal serupa juga diberlakukan Universitas Hong Kong. Mereka mengizinkan penggunaan ChatGPT dalam batasan yang ketat.
Diluncurkan perusahaan OpenAI – yang didukung Microsoft – pada November 2022, ChatGPT menjadi aplikasi dengan pertumbuhan tercepat di dunia hingga saat ini.
BACA JUGA: Studi: AI Bisa Jadi Risiko Sekaligus Peluang bagi JurnalismeAlat AI generatif seperti ChatGPT memanfaatkan pola bahasa dan data untuk menghasilkan apa pun, mulai dari esai, video hingga perhitungan matematis yang di permukaan menyerupai hasil buatan manusia.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB – UNESCO- belum lama ini meluncurkan pandual global pertama tentang GenAI dalam dunia pendidikan.
Panduan itu menguraikan langkah-langkah yang harus diambil dalam bidang-bidang seperti perlindungan data dan revisi undang-undang hak cipta.
Panduan itu juga mendesak negara-negara untuk memastikan para guru memperoleh keterampilan AI yang diperlukan.
Professor Prosun Bhattacharya di KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, mengatakan, mahasiswa tidak sepatutnya diizinkan menggunakan teknologi baru itu sebelum adanya kebijakan yang mengaturnya.
“Karena menurut saya, ini akan sangat berdampak pada kemampuan belajar para siswa, karena saat ini ilmu pengetahuan diperoleh dengan membaca buku, membaca artikel riset atau karya lainnya, yang tidak bisa digantikan informasi yang dihasilkan secara artifisial," katanya.
Apakah pelajar dapat bergantung pada AI untuk mengerjakan tugas mereka dan mencontek?
Di seluruh dunia, selama puluhan tahun, perangkat lunak Turnitin menjadi salah satu cara utama untuk memeriksa ada-tidaknya plagiarisme.
April lalu, perusahaan software itu meluncurkan sebuah alat kecerdasan buatan untuk mendeteksi konten buatan AI.
Turnitin menyediakan alat itu secara gratis kepada lebih dari 10.000 institusi pendidikan di seluruh dunia, meski ia berencana untuk membuatnya berbayar mulai awal 2024.
BACA JUGA: FBI Peringatkan tentang Bahaya Kecerdasan BuatanSejauh ini, alat pendeteksi AI milik Turnitin itu telah menemukan bahwa hanya 3% pelajar yang menggunakan AI dalam lebih dari 80% tugas mereka.
Beberapa pelajar mengaku jalan yang harus ditempuh masih panjang untuk membuat teknologi AI dapat digunakan selayaknya.
Panduan UNESCO belum lama ini juga memperingatkan risiko perpecahan masyarakat yang semakin dalam akibat alat AI generatif, karena kesuksesan seseorang dalam pendidikan dan perekonomian semakin bergantung pada akses listrik, komputer dan internet, yang tidak dimiliki masyarakat miskin.
“Teknologi adalah sebuah alat. Ia sendiri netral, tidak memberikan dampak positif. Tapi cara kita menggunakan teknologilah yang menentukannya. Lalu kita membutuhkan sebuah ekosistem, yang dapat benar-benar kita renungkan kembali, yang dapat benar-benar kita bentuk lagi demi masa depan pendidikan," papar Asisten Direktur Jenderal UNESCO bidang pendidikan, Stefania Giannini. [rd/jm]