Kemungkinan upaya China untuk mengambil alih Taiwan yang berpemerintahan sendiri telah menjadi ancaman bagi pulau itu selama beberapa dekade. Isu ini menjadi topik di antara para kandidat dalam pemilihan presiden Taiwan mendatang, namun sebagian penduduk di pulau itu mengatakan ancaman serangan China lebih nyata dibandingkan sebelumnya dan mereka mempersiapkan diri.
Di sebuah klub airsoft gun, di mana para siswa belajar menggunakan senjata yang menembakkan peluru plastik, seorang pemuda bernama Tony Lu pernah menembak dengan peluru sungguhan dan pernah mengalami perang ketika dia menjadi relawan untuk bertempur di Ukraina.
“Saya membeli tiket pesawat dan pergi ke Ukraina. Saya tidak memberi tahu siapa pun,” komentarnya.
Tony Lu, yang menghabiskan tiga bulan untuk berperang di Ukraina, mengatakan, “Sejak pecah perang Rusia-Ukraina, kursus pertahanan sipil di sini semakin banyak jumlahnya.”
Sebagian masyarakat Taiwan khawatir, jika Rusia bisa menyerang Ukraina, maka China bisa menyerang Taiwan. Oleh karena itu, sebagian warga mengambil tindakan dengan mempelajari cara menembak. Yang lain tertarik menggunakan radio amatir untuk berkomunikasi.
Di kelas yang diselenggarakan di Akademi Kuma, siswa belajar bagaimana mengenali disinformasi, bagaimana bertahan hidup jika infrastruktur dasar terganggu dan bagaimana menyelamatkan nyawa dengan keterampilan pertolongan pertama. Sebagian besar siswa adalah perempuan, kata Marco Ho, salah seorang pendiri Akademi Kuma.
“Ini hampir seperti tim ibu-ibu. Motivasi mereka datang ke kelas adalah, mereka ingin tahu, dalam situasi darurat, termasuk perang, apa yang bisa mereka lakukan, bagaimana mereka bisa melindungi keluarga mereka,” jelasnya.
Sejarah antara Taiwan dan China bermula dari perang saudara China yang berakhir lebih dari 70 tahun yang lalu. Komunis menang dan pemerintahan Nasionalis yang berkuasa mundur ke Taiwan. Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari China, meskipun Taiwan kini memiliki pemerintahan demokratis sendiri.
Serangan China terhadap pulau tersebut selalu menjadi sebuah kemungkinan, namun setelah bertahun-tahun, sikap apatis mulai terjadi pada sebagian orang, menurut Marco Ho.
“Seringkali ada yang berpikir, sesuatu yang tidak terjadi kemarin, juga tidak terjadi hari ini. Lalu besok, hal itu juga tidak akan terjadi. Pemikiran demikian sangat berbahaya,” imbuhnya.
Banyak orang di Taiwan mengatakan ancaman China telah berubah sejak pemimpin China Xi Jinping berkuasa. Mengenai pemimpin China itu, Marco Ho mengatakan, “Dia ingin menjadi orang yang menetapkan standar internasional.”
Alasan lain untuk mewaspadai kemungkinan ancaman China disampaikan oleh Watoto Lou, salah seorang siswa kursus menembak untuk pertahanan sipil.
“Saya pikir alasan terbesarnya adalah teknologi. Ada kebingungan dalam semua informasi. Karena informasinya sangat membingungkan, Anda tidak tahu apakah itu akan menjadi serangan militer atau perang informasi,” kata Watoto Lou.
Tony Lu merasa ragu bahwa rakyat Taiwan bisa melindungi pulau itu dari ancaman serangan China. “Saya tidak terlalu optimistis. Masyarakat perlu memperkuat kemampuan mereka untuk membela Taiwan. Selama ini hidup terlalu damai,” sebut Tony Lu.
Para pengamat mengatakan apakah serangan China akan terjadi, tidak bergantung pada siapa yang terpilih sebagai presiden Taiwan berikutnya. Daripada mencoba menghitung risiko perang, kata Marco Ho, penduduk Taiwan harus menghadapi kenyataan bahwa perang mungkin akan terjadi dan mereka harus siap menghadapinya. [lt/ka]