Pemerintah China dan Laos pada Jumat (3/12) memperingati enam tahun sejak dimulainya proyek pembangunan jalur kereta cepat senilai $5,9 miliar yang menghubungkan wilayah tertinggal China dengan area pelabuhan Singapura
Jalur sepanjang 414 kilometer, yang didesain dari baja dan beton, menghubungkan wilayah utara perbatasan Laos dan Provinsi Yunan di China dengan wilayah perbatasan antara Laos dengan Thailand di Vientiane. Jalur tersebut melewati 167 jembatan dan 75 terowongan. Dengan kecepatan yang dapat mencapai 160 kilometer per jam, kereta cepat tersebut nantinya dapat memotong durasi perjalanan dari sekitar 15 jam menjadi hanya empat jam.
Proyek tersebut juga dinilai menjanjikan era baru bagi sektor pariwisata dan perdagangan antara China dan Laos, yang merupakan salah satu negara termiskin di kawasan Asia Tenggara.
Menurut para pakar, bagi Beijing sendiri, proyek tersebut merupakan langkah kunci dalam proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), yang bertujuan tidak hanya untuk membangun Yunnan menjadi lebih maju dengan menghubungkannya dengan kota-kota ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga untuk membuat Yunnan lebih terkenal.
“Dari sudut pandang China, proyek tersebut membuat mereka merasa bahwa wilayah Asia Tenggara merupakan bagian dari negaranya dan mereka akan memiliki lebih banyak kontrol, akses yang lebih terbuka karena terdapat kereta (yang menghubungkan Chinda dan kawasan Asia Tenggara),” kata Ruth Banomyon, profesor bidang perdagangan, transportasi, dan logistik internasional dari Universitas Thammasat, Thailand.
Janji dan Risiko
Laos berharap proyek jalur kereta cepat tersebut akan membantu mereka bertransformasi dari negara tertutup menjadi lebih terbuka. Hal itu pada nantinya diharapkan dapat mengundang banyak turis asing and investor untuk datang ke negara mereka. Di saat yang sama, negara tersebut juga berharap proyek tersebut dapat mengekspor produksi dalam negeri mereka.
“Perdagangan antara China dan Laos tidak terjadi dalam jumlah yang besar dan Laos dengan statusnya sebagai negara yang tertutup membutuhkan lebih banyak titik penghubung dengan dunia luar. Jadi, proyek ini diharapkan dapat membantu Laos meningkatkan perekonomiannya dalam periode jangka panjang,” kata Li Mingjiang, profesor dari Sekolah Hubungan Internasional S. Rajaratnam di Singapura.
Namun, petani-petani dan pedagang kecil di Laos hanya dapat memperoleh keuntungan dari proyek tersebut jika negara itu berkomitmen untuk membangun jalan-jalan baru yang terhubung dengan proyek kereta cepat tersebut, tambah Li. “Jika tidak, jalur kereta cepat (yang melintasi Laos) hanya akan menjadi jalur transit semata yang melewati wilayah mereka.”
Berdasarkan catatan, Pon Souvannaseng, asisten profesor di bidang studi global dari Universitas Bentley di Amerika Serikat, mengatakan proyek kereta yang didorong oleh kepentingan asing lebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan keuntungan bagi negara-negara kecil seperti Laos, membebani mereka dengan biaya yang besar namun tidak mendapatkan keuntungan yang sesuai.
Ia mengatakan China secara khusus melihat koridor dari proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan mereka sebagai kesempatan utama untuk mengekspor tenaga kerja, barang-barang, pinjaman dan modal tanpa terlalu memedulikan kepentingan untuk membangun rantai pasokan dengan negara yang menjadi mitra mereka untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi mitra mereka tersebut.
BACA JUGA: Gelombang Baru Diplomasi China, Dorong Asia Tenggara Lawan AS“Pada dasarnya, Anda membuka pasar yang belum berkembang…yang dikelilingi oleh dua pusat manufaktur besar dunia, Thailand dan China. Jadi, Laos bukanlah pihak yang diuntungkan (dalam proyek ini) tapi mereka menghubungkan kedua negara tersebut,” jelas Pon.
Laos berkomitmen untuk membiayai 30 persen dari total proyek bernilai $5.9 miliar itu, di mana sebagian besar biayanya mereka dapatkan melalui pinjaman yang diberikan China dengan menjadikan tanah dan sumber daya alam mereka sebagai jaminan. Ditambah dengan utang-utang mereka untuk proyek yang lain yang juga didapatkan dari pinjaman yang diberikan oleh China, kondisi yang dialami Laos saat ini telah memicu kekhawatiran akan utang yang semakin memuncak dan kerisauan bahwa Beijing yang akan semakin memegang kendali atas negara tersebut.
“Proyek kereta tersebut dan investasi China yang lain di Laos menciptakan situasi di mana Laos menjadi semakin bergantung terhadap China secara ekonomi, dan hal itu dapat pula berarti pengaruh China terhadap Laos baik secara ekonomi maupun politik (semakin tinggi),” tambah Li.
Laos dan Niatan di Balik Proyek Kereta
Pon mengatakan penyelesaian dari proyek jalur kereta cepat yang melewati Laos merupakan bukti negara tersebut telah masuk ke dalam radar Beijing, setelah berhasil melalui tentangan politis di dalam negeri dan keraguan akan komersialisasinya di mata China dalam satu dekade terakhir.
“Itu merupakan proyek yang tidak biasa,” katanya. “Jadi, mengapa akhirnya proyek tersebut dapat terlaksana merupakan gambaran dari penyempurnaan hubungan geopolitis antara Laos dan China walapun pihak Laos berupaya membungkusnya dengan kata-kata indah dan berkelakar akan keuntungan yang dihasilkan dari proyek tersbeut.”
Dengan selesainya bagian jalur yang melalui Laos, Beijing kini dapat berfokus pada bagian lain dari proyek tersebut.
“Melewati Laos adalah langkah awal karena Laos sebenarnya tidak terlalu mempunyai banyak hal untuk ditawarkan kepada (China) selain produk agrikultur dan mungkin beberapa hasil tambang seperti tembaga,” kata Ruth.
“Untuk benar-benar mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut, (China) harus bisa memiliki akses menuju Thailand yang nantinya akan menghubungkan mereka dengan Malaysia. (Jika itu terlaksana) mereka akan memiliki akses terhadap seluruh kawasan Asia Tenggara,” tambahnya.
Pembangunan di wilayah yang terisolasi dari proyek tersebut sudah berjalan di wilayah Thailand dan Malaysia, meskipun kedua negara tersebut secara nyata memiliki lebih banyak hal yang dapat ditawarkan bagi China dibandingkan dengan Laos.
Malaysia sebelumnya telah menghentikan pembangunan jalur tersebut pada 2018 karena kekhawatiran pada masalah dana. Negeri Jiran itu baru memulai kembali proyek tersebut setahun setelah diberhentikan setelah berhasil meyakinkan China untuk mengurangi sepertiga dari besaran asli proyek tersebut yang bernilai $20 miliar.
BACA JUGA: Tingkatkan Pengaruh Ekonomi, China Melamar Kemitraan Trans-PasifikDi Thailand sendiri, setelah lebih dari 30 kali perundingan yang terjadi dalam beberapa tahun, pemerintahnya akhirnya menyetujui kurang dari sepertiga pembangunan proyek tersebut karena jalur yang dibangun melalui wilayah perbatasannya dengan Laos menuju Ibu Kota Bangkok.
Ruth mengatakan Thailand sebenarnya semangat terlibat dalam proyek tersebut, tapi tak seperti Laos, mereka memiliki posisi tawar untuk mendapatkan perjanjian yang lebih baik untuk menghindari risiko jebakan utang yang menghantui mitra-mitra China yang lain dalam proyek inisiatif Sabuk dan Jalan.
Namun, di balik semua kejanggalan yang muncul, ia mempercayai bahwa proyek jalur kereta cepat China-Asia Tenggara akan tetap terlaksana.
“Sang raksasa telah mulai berjalan,’ kata Ruth, “dan ia tidak akan berhenti.” [rs/ah]