Sampai saat ini belum ada pengumuman resmi kapan dan di mana KTT ASEAN yang membahas krisis politik di Myanmar akan digelar. Tapi suratkabar Phnom Penh Post mengutip pernyataan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di akun Facebooknya hari Jumat (16/4) menyatakan akan menghadiri KTT tersebut di Jakarta pada 24 April atau Sabtu pekan depan.
Menanggapi hal itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan pihaknya belum memperoleh konfirmasi dari Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN mengenai jadwal pelaksanaan KTT ASEAN soal krisis di Myanmar.
"(KTT ASEAN itu) akan dilaksanakan tapi mengenai konfirmasi tanggal dan lainnya, kewenangannya berada di Brunei sebagai ketua ASEAN. Kalau dari sisi masing-masing negara, ya mencocokkan jadwal. Itu yang kita lakukan," kata Faizasyah.
Menurut Faizasyah gagasan untuk mengadakan pertemuan para pemimpin negara-negara ASEAN merupakan usulan dari Presiden Joko Widodo. Ide ini disampaikan kepada Sultan Brunei Hassanal Bolkiah dan langsung disetujui.
Faizasyah belum bisa memastikan kapan Brunei akan mengeluarkan pengumuman soal waktu pelaksanaan KTT ASEAN tersebut, namun dia memperkirakan agenda itu akan keluar pekan depan.
BACA JUGA: 200 Warga Indonesia Telah Tinggalkan MyanmarPengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai rencana pelaksanaan KTT ASEAN itu merupakan langkah positif karena krisis politik di Myanmar tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Menurutnya ada tiga hal kongkret yang harus dilakukan oleh para pemimpin ASEAN dalam membantu menyelesaikan krisis politik di Myanmar saat ini. Pertama, ASEAN harus menunjuk utusan khusus untuk Myanmar dan dia tidak boleh memiliki jabatan dalam pemerintahan di negara asalnya.
Hikmahanto mencontohkan dari Indonesia, dua mantan menteri luar negeri, yakni Hassan Wirajuda atau Marty Natalegawa, dapat menjadi kandidat. Atau bahkan kalau perlu mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Ketiga orang ini dinilai bisa menjadi mediator untuk mendengarkan keinginan kedua pihak di Myanmar: rakyat dan junta militer.
Proses dialog ini harus berujung pada pembentukan pemerintahan sementara yang mencakup pihak militer dan kaum sipil yang tugas utamanya mempersiapkan pemilu yang diawali para tokoh atau pemantau dari ASEAN.
Langkah kedua adalah ASEAN harus berbicara dengan China agar mau terlibat dalam menyelesaikan krisis politik di Myanmar.
"Karena pada saat sekarang ini, pemerintah Myanmar diberi sanksi oleh pemerintah Amerika Serikat atau pemerintah dari negara-negara Eropa itu, mereka tidak akan bergeming. Karena ketergantungan Myanmar itu kepada China. Jadi faktor China ini sangat penting. Sementara China selalu mengatakan masalah yang terjadi di Myanmar adalah masalah dalam negeri yang China tidak perlu ikut campur," ujar Hikmahanto.
Pandangan China senantiasa didengar Myanmar, tambahnya, sehingga jika ASEAN bisa meyakinkan China untuk terlibat maka akan menjadi perkembangan yang sangat signifikan.
Sedangkan langkah ketiga yang bisa jadi sangat ekstrem dan sebenarnya tidak perlu digunakan, adalah memberikan semacam peringatan kepada junta Myanmar. Langkah ini sesuai hukum internasional dan tidak akan dianggap sebagai bentuk campur tangan terhadap urusan dalam negeri negara lain. Menurut Hikmahanto, langkah ini bisa dilakukan lewat pengiriman pasukan dari negara-negara ASEAN ke Myanmar.
Tapi Hikmahanto meyakini para pemimpin ASEAN tidak akan mengambil langkah ketiga tersebut karena harus mendapat rekomendasi dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BACA JUGA: Menlu RI: Inggris Dukung ASEAN Temukan Resolusi Konflik di MyanmarYang menjadi persoalan saat ini, menurut Hikmahanto, adalah apakah ASEAN bisa mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan krisis politik di Myanmar. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, banyak pihak akan menganggap ASEAN tidak lagi penting dan hanya sekadar solidaritas tanpa makna.
Hikmahanto menegaskan KTT ASEAN yang akan dilaksanakan akan menjadi titik krusial untuk membuktikan ASEAN memang dibutuhkan keberadaannya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di kawasan. Dia menekankan jangan sampai ada negara di luar ASEAN yang terlibat dan mampu mengatasi krisis di Myanmar.
Lebih dari 700 orang tewas akibat penggunaan kekerasan oleh militer pasca kudeta 1 Februari lalu. [fw/em]