Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pertemuan dengan PBNU dan para kiai di Surabaya, Jawa Timur pada Selasa (27/12) merupakan rangkaian terakhir dari kerja Tim PP HAM. Menurut Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim PP HAM, Menko Polhukam merupakan Ketua Tim Pengarah PP HAM.
Dalam pertemuan tersebut, Mahfud kembali menegaskan bahwa proses nonyudisial yang akan dilakukan pemerintah tidak akan menghapus proses yudisial kasus ini.
“Dalam forum ini saya tegaskan bahwa penyelesaian melalui jalur yudisial tetap dilakukan dan itu tugas penegak hukum, penyelidikannya dilakukan oleh Komnas HAM, penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan Agung, serta disidangkan di pengadilan HAM. Pemerintah tidak bisa mengintervensi penegakan hukumnya,” jelas Mahfud melalui keterangan tertulisnya.
Mahfud menjelaskan Tim PP HAM sebelumnya telah bertemu dan berdialog dengan para korban, pendamping korban, para pakar, pihak gereja, MUI, Muhammadiyah, dan mendatangi lokasi pelanggaran HAM berat masa lalu.
Menurutnya, tim selanjutnya akan menyempurnakan hasil kerja dan rekomendasi, kemudian akan dilaporkan kepada Presiden pada awal 2023. Termasuk di dalamnya adalah rekomendasi pemulihan hak-hak korban yang berkaitan dengan rehabilitasi fisik, hak sosial, jaminan kesehatan, pendidikan atau hal lainnya untuk kepentingan korban atau keluarganya.
Di hadapan para kiai, Mahfud juga membantah langkah yang diambil pemerintah menjadi bagian untuk menghidupkan kembali ajaran komunisme.
“Sedangkan larangan penyebaran ideologi komunisme, marxisme, dan lenimisme sebagaimana diatur dalam TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sudah final dan tidak dapat diganggu gugat kembali."
Korban 1965 Ragukan Pernyataan Mahfud Soal Jalur Yudisial
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65), Bedjo Untung meragukan pernyataan Mahfud Md yang menegaskan pemerintah akan tetap melanjutkan proses yudisial peristiwa 1965. Ia beralasan kasus ini belum juga tuntas meskipun sudah berlangsung 57 tahun dan sudah ada rekomendasi dari Komnas HAM.
Your browser doesn’t support HTML5
"Saya khawatir itu (baca: pernyataan Mahfud MD) yang mengkatakan tidak akan menghilangkan proses yudisial, tapi dalam praktiknya ada semacam dalam tanda kutip tipu-tipu," jelas Bedjo Untung kepada VOA, pada Selasa (28/12) malam.
Bedjo juga mengkritik penanganan kasus pelanggaran HAM 1965 yang berkas perkaranya bolak-balik dari Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Padahal, menurutnya sudah ada bukti baru atau novum yang menyatakan peristiwa 1965 merupakan rekayasa sistematis yang dilakukan militer. Kata dia, hal tersebut juga diperkuat deklasifikasi dokumen rahasia Dinas Intelijen AS yang mulai diungkap hingga 2017 lalu, mengenai keterlibatan AS dalam pembunuhan massal.
Bedjo juga menyampaikan bahwa proses nonyudisial tidak akan menyelesaikan kasus dan memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Namun, ia berpendapat bahwa pemulihan hak korban seperti rehabilitasi fisik dan hak sosial merupakan kewajiban negara untuk memenuhi.
"Saat ini korban sudah sangat rentan, tua, dan sakit-sakitan. Itu melalui hukum apapun itu memang tanggung jawab negara harus segera membantu."
Ia juga mengkritik pernyataan Mahfud yang menyebut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Penyebaran Paham Komunis sudah final dan tidak dapat diganggu gugat. Menurutnya, pernyataan tersebut justru menunjukkan kemunduran dari era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang akan meminta maaf kepada korban 1965 dan mencabut peraturan ini.
Menurut Bedjo, pemerintah semestinya melakukan pengungkapan kebenaran untuk memastikan kebenaran peristiwa yang terjadi pada tahun 1965. Menurutnya, langkah ini penting dilakukan, bukan saja untuk para korban 1965, tapi juga NU yang menjadi korban adu domba dalam peristiwa tersebut. [sm/em]