Bali Butuh Rp 20M untuk Tanggulangi Rabies

  • Muliarta

Dokter hewan di desa Kebon Kaja, Kabupaten Bangli, Bali, memberikan suntikan rabies pada anjing. (Photo: AP)

Bali menargetkan bebas rabies pada akhir 2015 dan memerlukan dana Rp 20 miliar per tahun untuk upaya penanggulangan tersebut.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Putu Sumantra, mengatakan Bali membutuhkan dana mencapai Rp 20 miliar per tahun untuk penanggulangan rabies, namun dana yang tersedia selama ini hanya mencapai Rp 10 miliar sampai Rp 13 miliar per tahun.

Dana tersebut sebagian besar digunakan untuk pembelian vaksin rabies, operasional vaksinasi masal dan sosialisasi, jelas Sumantra pada VoA di Denpasar, Rabu (25/7). Ia mengatakan bahwa kekurangan pendanaan penanggulangan rabies di Bali selama ini tertutupi bantuan dari lembaga-lembaga dunia, seperti Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization, FAO). Pada tahun ini, FAO memberikan bantuan vaksin rabies sebanyak 130.000 dosis, di samping bantuan pelatihan penanggulangan rabies.

“Sekarang banyak yang mendukung dari luar seperti FAO yang terus melakukan dukungan pelatihan. Kita fisiknya saja. Tahun lalu dukungan operasional, sekarang dilimpahkan kepada kita, makanya ada bantuan FAO seperti pelatihan, sosialisasi, itu mereka yang mengkoordinir, kita hanya melaksanakan,” ujar Sumantra.

Kaus rabies pertama kali terdeteksi di kawasan Jimbaran Badung Bali pada November 2008. Sejak itu, penularan rabies meluas di 276 desa di Bali dan menewaskan 138 orang, dengan jumlah korban terbanyak di Buleleng dan Badung.

Sumantra memaparkan bahwa hasil pemantauan lapangan menunjukkan kasus rabies kini hanya ditemukan di lima desa di Bali, dan kasusnya terjadi secara sporadis.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Ketut Kariyasa Adnyana berharap untuk penanganan rabies yang bersifat kejadian luar biasa (KLB) pemerintah daerah Bali harus menyiapkan dana khusus dan tidak terlalu berharap dari pemerintah pusat. Apalagi pencairan bantuan dana dari pemerintah pusat sering terlambat, ujarnya.

“Kalau umpama KLB begitu parah kemudian tidak ada vaksin, kita di daerah yang korban, karena birokrasi dari dulu akan ruwet kalau sudah ke daerah, apakah uangnya itu diendapkan atau dibungakan atau masalah adminitrasi, itu wewenang pusat,” ujarnya.