Bangladesh Didesak Cabut Larangan Telekomunikasi di Rohingya Terkait COVID-19

Para pengungsi Rohingya tidak menggunakan masker atau alat pelindung diri lainnya untuk mencegah penularan virus corona (COVID-19), memadati pasar di kamp pengungsi Kutupalong di Ukhia, 24 Maret 2020. (Foto: AFP)

Khawatir dengan ancaman perebakan virus corona di kamp-kamp pengungsi, sebuah kelompok beranggotakan 50 organisasi kemanusiaan dan advokasi, mengirim surat terbuka, Kamis (2/4).

Dalam surat itu, mereka meminta pemerintah Bangladesh mencabut pembatasan telekomunikasi di permukiman pengungsi Rohingya.

Lebih dari 850.000 etnis Muslim Rohingya tinggal di distrik tenggara Cox's Bazar yang miskin, sebagian besar di antara 34 kamp itu terlalu padat dan kumuh. Wilayah itu termasuk kamp pengungsi terbesar di dunia, Kutupalong-Balukhali, tempat tinggal bagi lebih dari 600.000 orang.

Surat yang ditujukan kepada Perdana Menteri Sheikh Hasina, juga mendesak pemerintah untuk menghentikan pembangunan pagar kawat berduri di sekitar kamp.

"Langkah-langkah ini mengancam keselamatan dan kesejahteraan para pengungsi serta komunitas warga Bangladesh sendiri dan para pekerja kemanusiaan, mengingat pandemi COVID-19 terus meningkat," demikian pernyataan surat tersebut.

Pada September lalu, pihak berwenang Bangladesh memerintahkan perusahaan telekomunikasi membatasi jangkauan internet di kamp-kamp tersebut. Lebih dari 12.000 kartu SIM ponsel dari para pengungsi disita, sebut surat terbuka yang merujuk angka tersebut dengan Komisaris Pengungsi dan Pemulihan Bangladesh.

Sejumlah larangan itu membatasi kesadaran warga kamp terhadap kondisi darurat kesehatan dan cara untuk mengurangi risiko. Mereka tidak bisa mengakses informasi melalui internet, juga tidak mudah mencek satu sama lain melalui ponsel atau minta bantuan medis darurat. Risiko-risiko tersebut di luar batas kemampuan para pengungsi, demikian surat itu lebih jauh menjelaskan. [mg/pp]