Banjir menerjang Kota Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu (31/12) setelah kota tersebut diguyur hujan lebat selama 12 jam. Pusat kota itu memang terendam di berbagai titik, khususnya kawasan utara yang berada di wilayah rendah. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan kondisi tersebut kemungkinan akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan.
“Masyarakat kita minta untuk siaga, karena kondisi ini diperkirakan oleh BMKG sampai tanggal 3 Januari, sehingga kita harus siaga penuh setiap hari,” ujar Ganjar saat memantau kondisi banjir di wilayah yang dipimpinnya.
Untuk itu ia meminta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan para relawan untuk menyiapkan kondisi kedaruratan, termasuk logistik, peralatan rescue, dan titik-titik untuk evakuasi.
Kawasan Simpang Lima yang menjadi ikon Semarang tidak luput dari luapan air. Drainase sepertinya menjadi salah satu persoalan, di samping pompa air. Sebagian wilayah Semarang memang berada di bawah permukaan laut, sehingga banyak bergantung pada pompa untuk mengalirkan air.
Selain Semarang, sejumlah wilayah di provinsi tersebut, seperti Pati, Demak, Kudus, Pekalongan, Batang hingga Pemalang juga dilanda banjir. Kawasan Demak, tak jauh dari Semarang, sangat bergantung pada Rumah Pompa Sringin untuk menghalau luapan air. Namun, sayangnya dua unit pompa di fasilitas tersebut rusak pada Sabtu. Banjir pun melanda jalan penghubung Semarang-Demak, dan menciptakan kemacetan parah.
Sebelumnya pada Kamis (29/12) tanggul penahan air laut di kawasan Marina, Semarang, juga jebol karena tak kuat menahan desakan gelombang.
BMKG Sudah Perkirakan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memang telah memprediksi bahwa sebagian wilayah Indonesia akan diguyur hujan dengan intensitas ringan hingga lebat akhir tahun ini.
Sejumlah daerah seperti Jabodetabek, Banten bagian barat dan selatan, Jawa Barat bagian tengah dan utara, Jawa Tengah bagian utara, Jawa Timur bagian utara, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mewaspadai ancaman ini.
“Dasar pertimbangan dari masih signifikannya potensi cuaca ekstrem tersebut adalah karena masih teridentifikasi aktifnya beberapa fenomena dinamika atmosfer yang dapat memicu peningkatan curah hujan,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan kepada media, secara daring Kamis (29/12).
Ia mengatakan kondisi yang mempengaruhi kondisi tersebut di antaranya adalah aktifnya monsun Asia di belahan bumi utara, dan teridentifikasinya Madden Jullian Oscillation (MJO) yang cukup aktif di wilayah Indonesia bagian selatan ekuator.
“Kondisi tersebut terjadi bersamaan dengan aktifnya fenomena gelombang atmosfer, yaitu Kelvin Wave dan Rossby Equatorial dalam sepekan terakhir, hingga beberapa hari kedepan, yang berkontribusi signifikan meningkatkan pertumbuhan awan hujan dengan potensi curah hujan lebat hingga sangat lebat di beberapa wilayah,” tambah Dwikorita.
BACA JUGA: Perubahan Iklim dan Penurunan Tanah Sebabkan Pantura Tenggelam
Bencana Selalu Terulang
Pemerintah setempat nampaknya tidak menjadikan bencana serupa yang terus berulang, sebagai pelajaran. Iqbal Alma, dari Walhi Jawa Tengah menceritakan bagaimana akar persoalan tidak pernah disentuh dalam penanganan kebencanaan.
“Melihat pada bencana yang terjadi, membuktikan bahwa upaya mitigasi krisis iklim di Semarang masih minim. Pemerintah seakan tidak pernah belajar dari bencana-bencana yang telah terjadi sebelumnya,” ujarnya.
Iqbal mengatakan, tanggul jebol di pesisir Kota Semarang tahun ini saja sudah terjadi dua kali. Pertama terjadi pada 23 Mei 2022 di kawasan Tambak Mulyo, dan kedua adalah pada akhir tahun ini.
“Dalam kurun waktu kurang lebih tujuh bulan, lokasi yang berjarak kurang lebih 4,5 km itu sama-sama mengalami tanggul jebol akibat terjangan ombak yang kuat. Akibatnya, terjadi banjir di kawasan-kawasan tersebut dan menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial bagi warga sekitar,” imbuhnya.
Jebolnya tanggul-tanggul itu, lanjut Iqbal, menandakan terjadinya kerusakan lingkungan di kawasan pesisir Semarang. Kota tersebut juga mengalami bencana serupa pada 2021 setelah diguyur hujan lebat. Limpahan air hujan tidak dapat tertampung dan tersalurkan dengan baik, hingga membanjiri jalan dan rumah warga.
Walhi Jawa Tengah mencatat banjir menjadi agenda rutin bagi wilayah Semarang dengan sumber yang berbeda. Banjir di kawasan ini bisa terjadi karena rob atau naiknya air laut ataupun curah hujan seperti saat ini.
“Lokasi banjir pun tidak banyak berubah dan cenderung bertambah seiring tingginya intensitas rob dan hujan. Krisis iklim yang kian memburuk dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, gelombang besar, angin kencang, dan longsor, meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas,” papar Iqbal.
Di sisi lain, pembangunan kawasan industri di pesisir dan alih fungsi lahan di daerah resapan air Semarang bagian atas, justru semakin masif dilakukan. Walhi menilai, pembangunan kawasan industri dan infrastruktur pendukungnya menghilangkan ekosistem mangrove di titik pembangunan dan sekitarnya. Padahal, lanjut Iqbal, ekosistem mangrove memiliki peranan penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim.
BACA JUGA: Cegah Rob Semarang Terulang, Perubahan Kebijakan Harus MenyeluruhDi Semarang bagian atas, alih fungsi daerah resapan air menjadi bangunan-bangunan baik itu pusat perbelanjaan, permukiman, hingga perguruan tinggi terus terjadi. Proses perubahan lansekap ini menyebabkan air hujan turun langsung mengalir ke wilayah Semarang bagian bawah. Buruknya, air juga membawa tanah dampak erosi hulu masuk ke sungai-sungai hingga menyebabkan pendangkalan.
“Berkurangnya daerah resapan air dan berkurangnya kapasitas sungai untuk menampung air hujan ini lah yang kemudian yang sejauh pengamatan kami menjadi dua dari banyak faktor penyebab terjadinya banjir di Kota Semarang,” lanjut Iqbal.
Walhi mengingatkan dengan keras, bahwa pemerintah Jawa Tengah terlalu sibuk pada urusan pertumbuhan ekonomi untuk segelintir orang, hingga melupakan bahwa bencana banjir sudah setinggi leher. [ns/ah]