Deputi Direktur HRWG, Daniel Awigra, menyatakan praktik perekrutan yang tidak adil, penarikan biaya tinggi, dan eksploitasi pekerja, marak ditemukan. Ini terjadi khususnya dalam perekrutan dan penempatan swasta-ke-swasta.
"Praktik ini terjadi saat perekrutan, pelatihan, persiapan dan pemberangkatan yang dilakukan umumnya oleh aktor swasta yang memiliki izin dari pemerintah,” ujarnya dalam peluncuran buku “Shifting the Paradigm of Indonesia-Japan Labour Migration Cooperation” yang menangkap berbagai pelanggaran, Rabu (20/5) siang.
Dia mencontohkan, banyak calon pemagang diminta mengeluarkan uang antara Rp30-80 juta untuk persyaratan abal-abal. Karena itu, sebelum mereka berangkat, pekerja sudah terlilit hutang.
"Sementara, dugaan praktik korup untuk mendapat kursi pemagang di Jepang dalam skema magang government-to-government juga menguat,” tambahnya.
Pendamping pekerja Indonesia di Jepang, Saeki Natsuko, mengatakan para pekerja TITP tidak mendapatkan posisi yang sesuai keahlian.
"Kenyataannya peserta program magang hanya dijadikan pekerja kasar untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di perusahaan kecil yang tidak sanggup merekrut atau membayar gaji orang Jepang,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Profesor di Nagoya Gakuin University ini mengatakan, kondisi yang sama juga dialami perawat dan perawat lansia di bawah Economic Partnership Program (EPA). "Perawat ini belum punya sertifikasi di Jepang. Jadi yang dibilang (sebagai) calon atau kandidat. Jadi terpaksa kerja sebagai pembantu perawat. Terus terang, kerjanya bisa dikatakan kerja kotor,” tambahnya.
BACA JUGA: Migrant Care Minta Pemerintah Tak Pakai Pendekatan Keamanan Pada Pekerja MigranInformasi Tidak Jelas
Salah satu alumni program TITP di sektor perikanan, Andi (bukan nama sebenarnya), mengatakan banyak ketidakjelasan informasi dalam program tersebut. Dia menceritakan, ketika ikut perekrutan dia tidak mengeluarkan biaya apapun, namun ketika bekerja gajinya dipotong tanpa pemberitahuan.
"Di laut itu gaji kok kecil banget? Setelah saya ke sini-sini, oh tahu ternyata memang agen di Jepang dan di Indonesia, dengan iming-iming biaya gratis itu ternyata gaji kita dipotong selama tiga tahun. Dan pemotongannya itu tidak wajar,” kisah laki-laki yang berangkat tahun 2005 dan kini telah kembali ke Indonesia ini.
Andi bahkan menyatakan terbiasa mengalami kekerasan dan bekerja hingga 20 jam sehari.
Hal serupa dinyatakan Tara (bukan nama sebenarnya), yang bergabung dalam angkatan pertama perawat EPA pada 2007. Dia mengatakan, ia tidak pernah diberitahu bahwa gajinya akan dipotong untuk membayar asuransi.
"Itu kan sebenarnya bukan penipuan. Tetapi tidak ada konfirmasi atau informasi dari awal bahwa itu akan dipotong. Ketidakjelasan informasi itu sangat berisiko buat kita yang menjalaninya,” jelas Tara.
TITP dibentuk pada 1993 untuk menyalurkan keterampilan dari Jepang ke negara-negara berkembang. Sementara EPA disepakati pemerintah Indonesia dan Jepang pada 2007 untuk mendorong sumber daya manusia.
Dalam perjalanannya, pada 2014, Komite Hak Asasi Dunia PBB merekomendasikan dengan kuat supaya Jepang mengganti skema sekarang yang merekrut tenaga kerja murah, menjadi peningkatan kapasitas.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang yang dirilis Januari 2020, ada 51.337 buruh Indonesia di Jepang dan 32.480 di antaranya di bawah TITP.
Menteri Tenaga Kerja Indonesia Ida Fauziyah pada akhir 2019 menyatakan kedua negara sepakat mengirim 5000 pekerja lagi ke Jepang.
BACA JUGA: ABK Indonesia: Gelombang Perbudakan dan Minimnya PerlindunganHukum Tidak Sinkron
Pelanggaran ketenagakerjaan ini sayangnya tidak mendapat perlindungan hukum yang jelas, ujar Saeki. "Khusus untuk program magang ini, tahun pertama sejak awal diberlakukan sebagai pekerja, diterapkan UU Pokok Perburuhan. Sedangkan kalau di Indonesia bukan, definisinya bukan seperti itu. Jadi memang tidak sinkron antara UU di Jepang dan UU di Indonesia,” tambahnya.
Senada dengan hal itu, aktivis Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Ridwan Wahyudi, mengatakan, meski pemerintah Jepang menganggap mereka sebagai pekerja, pemerintah Indonesia melihat mereka sebagai peserta magang.
"Ini yang harus clear, karena ini konsekuensinya kepada upah, jaminan sosial, dan hak-hak ketenaga kerja lain yang melekat. Jelas ada perbedaan antara magang dan pekerja, dengan hak-haknya,” tambahnya.
Direktur Penempatan Tenaga kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana, mengatakan program-program tersebut akan tetap berjalan. Dia mengatakan, meski kajian HRWG mengungkap fakta di lapangan, tetap tidak bisa digeneralisasi.
"Dari masukan-masukan ini kami akan berupaya melakukan pembenahan ke depan. Permasalahan ini bukan hal yang mudah, kita perlu juga berkoordinasi,” ujarnya.
Ditambahkannya, pemerintah tengah memperbaiki program tersebut. Salah satunya yaitu bernegosiasi dengan Jepang untuk mendatangkan 10 ahli ke Indonesia untuk membantu penyusunan kurikulum. Pemerintah juga akan memastikan tidak ada biaya berlebih yang dikeluarkan calon pekerja. [rt/em]