Ada ritual demokrasi menarik di Amerika setiap awal tahun, yaitu ketika presiden menyampaikan evaluasi dan sekaligus garis besar kebijakannya kepada publik. Awalnya kebijakan ini lebih diperuntukkan bagi warga di dalam negeri, tetapi kini kebijakan orang nomor satu di Amerika itu juga ditunggu-tunggu warga dunia.
"Kepresidenan kali ini tidak biasa, jadi kita harus melihat konteks pidato ini."
Demikian ujar EJ Dionne, pakar ilmu pemerintahan dan ketua "W. Averell Harriman Institute," suatu badan terkemuka di Universitas Columbia yang memfokuskan pada studi ilmu pemerintahan dan isu-isu Rusia, Eurasia dan Eropa Timur.
Konteks yang dimaksud Dionne adalah situasi yang ada di Amerika ketika Presiden Trump menyampaikan pidato Selasa malam, yang sedang dibayangi penyelidikan soal potensi campur tangan Rusia dalam pemilu presiden 2016, isu imigrasi, rencana pembangunan tembok di sepanjang perbatasan selatan Amerika, dan kebijakan-kebijakan kontroversial di luar Amerika, antara lain menarik dari dari Perjanjian Iklim Paris dan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibukota Israel. Dalam diskusi di Brookings Institute awal pekan ini, EJ Dionne secara bergurau mengutip laporan-laporan di radio dan televisi yang dengan terang-terangan memelesetkan terminologi "state of union address," atau pidato kenegaraan, menjadi "state of the investigation," atau pidato tentang penyelidikan.
"Lihat bagaimana media, terutama radio yang saya dengar hari ini, mengatakan ‘kini kita simak state of the investigation’ merujuk pada penyelidikan yang sedang dilakukan Robert Mueller terhadap kalangan dekat Presiden Trump, yang tingkat kepopulerannya terus merosot, padahal tidak lama lagi akan dilangsungkan pemilu sela. Jelas terlihat bahwa pidato kenegaraan kali ini tidak saja bertujuan menjabarkan kebijakan, tetapi juga bermuatan politik," papar Dionne.
Tonton: Apa yang dimaksud dengan SOTU?
Namun Camille Busette, pakar ilmu pemerintahan yang juga direktur "Race, Prosperity & Inclusion Institute" tidak yakin Presiden Trump akan banyak bicara tentang penyelidikan itu.
"Penyelidikan Mueller memang telah membayangi hampir semua agenda kebijakan presiden, tetapi saya ragu presiden akan bicara tentang hal ini dalam pidatonya," ujarnya.
John Hudak, pakar ilmu pemerintahan yang juga Wakil Direktur "Center for Effective Public Management" lebih berharap presiden tampil sebagai pemersatu, dan tidak lagi berbicara untuk satu kepentingan saja.
John mengatakan, "Presiden harus berbicara pada publik tidak dengan nada yang memecahbelah, tidak juga sebagai seseorang yang bertahan karena sedang dalam penyelidikan, tidak berbicara sebagai seseorang yang punya masalah untuk mengartikulasikan pandangan berbeda-beda atas suatu isu. Ia harus berbicara pada publik pemilih Amerika yang luas yang selama satu tahun terakhir ini tampak sulit diraihnya. Ia harus bicara tidak dalam posisi sebagai presiden satu tahun terakhir ini, tetapi lebih sebagai presiden untuk tiga tahun ke depan. Ini berarti ia harus menyampaikan pidato dengan retorika, gagasan dan pendekatan berbeda; tidak saja untuk seluruh Amerika, tetapi juga juga partainya sendiri."
Lebih jauh John Hudak mengatakan sudah saatnya presiden menunjukkan bahwa ia bisa bicara dan memahami isu yang dihadapi kaum perempuan, warga kulit hitam Amerika, kelompok imigran, dan juga negara-negara yang selama ini merasakan dampak kebijakannya dalam satu tahun pertama pemerintahan.
LIHAT JUGA: Infografis: Siapa yang akan menggantikan Presiden AS kalau ada serangan mematikan?
Selain warga Amerika, dunia juga menantikan kebijakan Trump dalam berbagai isu, antara lain soal denuklirisasi Korea Utara, aksi kekerasan di Afghanistan, konflik Israel-Palestina, sengketa wilayah di Laut Cina Selatan dan lain-lain.
Presiden Trump dijadwalkan menyampaikan pidato pada jam 9 malam ini. [em/al]