“Aku mencintaimu,” ungkap Yulia Navalnaya, istri tokoh oposisi Rusia Alexey Navalny, hari Minggu (18/2), dalam postingan foto pertama pada akun Instagramnya pascakematian suaminya itu. Senin ini, Yulia akan bertemu para menteri luar negeri Eropa di Brussels, menurut pernyataan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell, di akun sosial media X miliknya.
Navalny, mantan pengacara berusia 47 tahun asal Rusia, dilaporkan jatuh pingsan dan meninggal pada Jumat (18/2) setelah merasa tidak enak badan saat berjalan-jalan di penjara di Kharp, Moskow, tempat ia menjalani hukuman, menurut pernyataan pihak lapas federal Rusia.
Picu Kemarahan Barat
Menanggapi kabar itu, pemerintah negara-negara Barat langsung mengecam Kremlin.
Presiden AS Joe Biden menyampaikan kepada media (16/2) bahwa ia tidak terkejut, tapi geram atas berita itu. Menurutnya, Presiden Rusia Vladimir Putin dan “komplotannya” lah yang bertanggung jawab atas tewasnya Navalny.
“Jangan salah, jangan salah, Putin bertanggung jawab atas kematian Navalny. Putin bertanggung jawab. Apa yang terjadi pada Navalny adalah bukti lain dari kebrutalan Putin. Tak seorang pun bisa dibodohi—tidak di Rusia, tidak di sini (Amerika), tidak di mana pun di dunia,” tegasnya.
BACA JUGA: Sehari Sebelum Wafat, Alexey Navalny Sempat Lontarkan Lelucon Satir di PengadilanMenteri Luar Negeri Inggris David Cameron ikut merespons dan mengatakan bahwa Inggris “akan mengambil tindakan” terhadap Rusia. Cameron tidak merinci apakah tindakan yang dimaksud berupa sanksi finansial atau langkah lainnya.
Kremlin berang dengan berbagai kecaman tersebut. Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov menyebut pernyataan mereka “tidak dapat diterima” dan “keterlaluan.”
Putin sendiri belum mengomentari kematian Navalny. Ia tampak tidak menggubris kemarahan Barat, di tengah persiapannya menghadapi pemilihan umum Rusia bulan depan untuk memperpanjang masa jabatan yang telah didudukinya selama 24 tahun.
Sementara itu, saat berbicara pada konferensi pers di Addis Ababa, Ethiopia, setelah menghadiri KTT Uni Afrika, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva pada Minggu (18/2) menyampaikan, harus ada investigasi menyeluruh terhadap kematian Navalny sebelum tuduhan-tuduhan tersebut dilontarkan.
“Investigasi harus dilakukan untuk mengetahui alasan mengapa pria ini meninggal. Jika tidak, membuat tuduhan sama saja dengan pelecehan. Saya memahami kepentingan pihak-pihak yang langsung melontarkan tuduhan, tetapi itu bukan gaya saya. Saya harap pihak penyelidik akan memberikan penjelasan mengapa orang ini meninggal. Itu saja,” jelasnya.
Pernyataannya sangat kontras dengan kritik tajam Barat terhadap Rusia.
Kementerian Luar Negeri China menolak berkomentar, dengan mengatakan bahwa kasus tersebut adalah “urusan dalam negeri Rusia.”
Your browser doesn’t support HTML5
Warga Turun ke Jalan
Reaksi juga muncul dari diaspora Rusia di berbagai negara, termasuk AS, Perancis, Jerman dan Serbia, yang turun ke jalan untuk berdemo di luar kedutaan Rusia, tak lama setelah beredar berita tewasnya Navalny.
“Kalaupun ini bukan pembunuhan yang disengaja, seperti saat mereka mencoba meracuni (Navalny) sebelumnya, saya rasa tidak ada yang ragu bahwa Putin pada akhirnya menunjukkan niatnya untuk menghancurkan Navalny di penjara, atau menyebabkan kematiannya,” kata Nikita Kharchenko, pengungsi dari Rusia yang pindah ke AS sekitar setahun yang lalu untuk melarikan diri dari persekusi politik di negara asalnya.
Di Rusia sendiri, ratusan warga di puluhan kota mendatangi tugu peringatan dan monumen korban represi politik. Mereka membawa bunga dan lilin pada akhir pekan lalu untuk mengenang Navalny.
Di lebih dari selusin kota, polisi menahan lebih dari 400 pendukung Navalvy hingga Sabtu malam (17/2), ketika mereka memberi penghormatan kepada tokoh itu, menurut pernyataan kelompok hak asasi manusia OVD-Info yang melacak kasus-kasus penangkapan aktivis dan memberi bantuan hukum kepada mereka.
BACA JUGA: Setidaknya 212 Demonstran Kasus Navalny Ditangkap di Seluruh RusiaSebuah tugu peringatan untuk mendiang Navalny di St. Peterburg juga dihancurkan oleh orang-orang tak dikenal pada hari Minggu. Banyak karangan bunga di seluruh Rusia ikut dirusak, menurut pemberitaan media lokal.
Kematian mendadak Navalny menjadi pukulan besar bagi sejumlah warga Rusia yang menggantungkan harapan akan masa depan pada dirinya. Musuh bebuyutan Presiden Vladimir Putin itu tetap vokal mengkritik Kremlin, bahkan setelah terkena paparan racun saraf dan berulang kali menerima hukuman penjara.
Navalny menjalani hukuman penjara 19 tahun atas tuduhan ekstremisme di sebuah penjara terpencil di atas Lingkaran Kutub Utara (Arctic Circle). Ia berada di balik jeruji besi sejak kembali dari Jerman pada Januari 2021, setelah menghadapi dakwaan yang dianggapnya bermotif politik untuk membuatnya dipenjara seumur hidup.
Komite Investigasi Rusia menyatakan telah membuka penyelidikan atas kematian Navalny. [br/jm]