Negara-negara Barat menggunakan tinjauan rutin yang didukung PBB terhadap catatan HAM China, Selasa (23/1) untuk menekan Beijing agar berbuat lebih banyak guna memungkinkan kebebasan berekspresi, melindungi hak-hak etnis minoritas dan mencabut undang-undang keamanan di Hong Kong yang dicemooh para aktivis independen.
Duta Besar China di Jenewa, Chen Xu, memimpin delegasi dari sekitar 20 kementerian di China untuk “peninjauan berkala universal” di bawah Dewan HAM PBB. Dia menekankan kemajuan China dalam pemberantasan kemiskinan, serta mengatakan bahwa warga negara tersebut terlibat dalam “pemilihan umum yang demokratis” dan bahwa kebebasan beragama dilindungi.
“China menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan HAM sebagai tugas penting dalam pemerintahan negara,” kata Chen melalui seorang penerjemah. “Kami telah memulai jalur HAM yang sejalan dengan tren zaman dan sesuai dengan perkembangan zaman, kondisi nasional China, dan apa yang disebut sebagai pencapaian bersejarah dalam proses ini.”
“Kami menjunjung tinggi filosofi yang berpusat pada masyarakat dan berupaya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi semua orang,” katanya.
Leslie Norton, Duta Besar Kanada untuk PBB, meminta China mengakhiri “segala bentuk penghilangan paksa yang menarget pejuang HAM, etnis minoritas dan praktisi Falun Gong” dan mendesak pencabutan undang-undang keamanan Hong Kong.
Duta Besar Ceko Vaclav Balek mendesak China untuk mengakhiri kriminalisasi terhadap akvititas sipil yang damai dan bernuansa keagamaan yang dilakukan oleh kelompok etnis dan agama, termasuk Muslim, Uyghur dan Budha, Tibet dan Mongolia, dengan dalih melindungi keamanan negara; menghentikan penculikan lintas batas negara; dan mengintimidasi warga China yang tinggal di luar negeri.
Anita Pipan, duta besar Slovenia di Jenewa, merekomendasikan China untuk “menetapkan moratorium hukuman mati” sebagai upaya untuk menghapuskannya.
Michele Taylor, perwakilan permanen AS untuk Dewan HAM PBB, menyampaikan daftar kekhawatirannya, dan menegaskan, “Kami mengutuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung di Xinjiang dan penindasan transnasional untuk membungkam individu di luar negeri.”
Beberapa organisasi independen dan Amerika Serikat menuduh China melakukan genosida di Xinjiang, namun tidak ada badan PBB yang menegaskan hal tersebut. China mengecam laporan tahun 2022 yang dikeluarkan oleh kepala urusan HAM PBB saat itu yang mengutip kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di wilayah barat.
Kozo Honsei, perwakilan tetap Jepang di Jenewa, menyerukan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak kelompok minoritas di Tibet dan Xinjiang.
Sidang ini menawarkan pandangan luas mengenai situasi HAM di China. Utusan Bolivia memuji upaya China dalam mengurangi deforestasi, perwakilan Burundi mendesak China untuk meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan di wilayah tengah dan perumahan yang lebih baik di Hong Kong dan Makau, dan Iran memuji “rencana aksi nasional China untuk HAM.”
Ilia Barmin dari misi diplomatik Rusia menyarankan China “untuk secara konsisten meningkatkan pemahaman dan kapasitas warga negara dalam menggunakan bahasa Mandarin lisan dan tulisan standar di Xinjiang,” dan Frankye Bronwen Levy, penasihat urusan politik untuk Afrika Selatan, meminta China untuk memperkokoh undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga yang disahkan delapan tahun lalu.
Jumlah yang sangat besar, yaitu lebih dari 160 negara, sebagian mengkritik Beijing, sebagian merupakan sekutu, mendaftar untuk mengambil bagian dalam diskusi tersebut. Artinya, setiap negara mempunyai waktu maksimal 45 detik untuk berbicara, sehingga memaksa beberapa duta besar untuk melakukan hal yang terkadang terasa seperti latihan membaca cepat.
Delegasi China mempunyai waktu total 70 menit untuk menyampaikan pendapatnya. [ab/ns]