Beberapa insiden sejak bulan Mei mengancam akan membakar lagi permusuhan antara China dan Vietnam yang bertetangga atas kekuasaan di Laut China Selatan, tetapi Vietnam dipandang menahan kemarahannya untuk sementara karena kurangnya dukungan yang lebih luas.
Kementerian Luar Negeri di Hanoi pekan lalu memrotes pengumuman Beijing mengenai latihan militer di Teluk Tonkin. Perselisihan terjadi setelah China tampaknya menekan Vietnam dan kontraktor Spanyol Repsol agar menghentikan proyek eksplorasi minyak lepas pantai jutaan dolar di daerah lain Laut China Selatan bulan Juli lalu.
Bulan Juli, para aktivis maritim pro-China tampaknya meretas komputer maskapai penerbangan di dua bandara Vietnam. China dan Vietnam membatalkan pertemuan menteri luar negeri dalam forum kawasan di Manila bulan lalu. Bulan Juni seorang pejabat militer China mempersingkat kunjungannya di Vetnam, tindakan yang menurut para analis sebagai protes atas eksplorasi migas di lepas pantai Vietnam.
“Telah terjadi rentetan kemunduran terhadap hubungan. Oleh karena itu Vietnam menunjukkan sikapnya yang marah,” kata Carl Thayer, profesor pensiunan spesialis Asia Tenggara di Universitas New South Wales, Australia.
“Saya juga berpendapat bahwa bagi Vietnam perasaan anti-China di kalangan masyarakat Vietnam sangat berbahaya sehingga kalau pemerintah menghadapi keadaan di Laut China Selatan dan pemerintah dipandang oleh rakyat Vietnam tidak membela kedaulatan Vietnam, pemerintah akan menghadapi masalah besar,” kata Thayer.
Memburuknya hubungan maritime China-Vietnam, walaupun sudah bertahun-tahun berusaha bekerjasama dalam penangkapan ikan dan pengeboran minyak lepas pantai, akan mempertentangkan kedua negara yang mempunyai klaim yang paling rawan di Laut China Selatan itu, walaupun sudah berusaha sejak tahun 2016 untuk mengesampingkan perselisihan mereka sejak bulan Juli tahun 2015. Kedua negara pernah terlibat dalam bentrokan di laut pada tahun 1970-an. [gp]