Hingga saat ini, salah satu klaster penularan virus corona yang cukup besar di berbagai daerah di Indonesia adalah klaster jamaah tabligh. Kelompok ini sempat mengadakan pertemuan besar di Gowa, Sulawesi Selatan 19-22 Maret 2020 lalu. Meski kemudian dibubarkan, pertemuan itu sempat terselenggara, dan pesertanya kemudian pulang ke daerah masing-masing. Sayangnya, sebagian kemudian menjadi awal dari penyebaran virus, dari Sumatera hingga Papua.
Setelah pulang ke daerah masing-masing, anggota jamaah tabligh juga tidak menerapkan anjuran pemerintah untuk menjaga jarak. Menurut Direktur Islamic Culture and Society (ICS) Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Saipul Hamdi, hal ini tidak terlepas dari pandangan awal jamaah tabligh terhadap virus corona itu sendiri.
Salah satu tokoh kelompok ini di India, Maulana Saad awalnya menyebut virus ini sebagai hukuman dari Tuhan. Karena itu, dia menyarankan jamaah datang ke masjid sebagai upaya mengusirnya.
“Beliau juga membantah pernyataan kelompok lain yang menyatakan bahwa ke masjid akan memperbanyak kasus Covid- 19. Beliau menyebutnya sebagai ungkapan baathil hayal, sebagai sebuah kepalsuan,” ujar Hamdi.
Hamdi memaparkan itu saat berbicara dalam seminar daring Strategi Islam Transnasional dan Lokal dalam Menghadapi Cengkerawan COVID-19. Seminar ini diselenggarakan Program Sosiologi Universitas Mataram, ICS Universitas Mataram dan KONSEPSI, pada Senin (18/5).
Lebih lanjut, Hamdi yang melakukan serangkaian wawancara pada anggota jamaah tabligh menyebut, cara kelompok ini menjalankan dakwah juga berperan dalam penyebaran virus. Pola dakwah jamaah tabligh bersifat komunal, penuh sentuhan fisik ketika beribadah, mereka juga makan bersama dalam satu nampan dan kerap tinggal bersama di satu masjid untuk waktu cukup lama. Ketika menjalankan dakwah, setiap sore mereka akan mendatangi rumah warga satu persatu untuk mengajak sholat berjamaah.
Karena cara pandangnya terhadap virus corona, kelompok ini cenderung menyangkal dan bersikap resistant terhadap pemerintah, jika ada jamaah yang disebut terinfeksi. Mereka juga kurang kooperatif ketika diminta melakukan karantina bahkan melawan petugas kesehatan ketika dijemput. Kasus semacam itu, kata Hamdi juga terjadi di Lombok meskipun akhirnya dapat diselesaikan pemerintah.
BACA JUGA: Ijtima Dunia di Gowa DibatalkanNamun Hamdi mengingatkan, Ijtima Gowa terjadi ketika pemerintah belum melakukan pembatasan perjalanan. Begitu pula kepergian sejumlah anggota jamaah tabligh Indonesia ke India, maupun sebaliknya, dilakukan pada periode itu.
“Mereka tidak bisa disalahkan secara frontal, karena belum ada ketegasan pemerintah ketika itu. Sekarang telah ada pergeseran pandangan, dimana Maulana Saad di India menyatakan instruksi pemerintah untuk tidak ke masjid dan sholat di rumah, tidak berlawanan dengan syariat,” kata Hamdi.
Jamaah tabligh adalah salah satu gerakan Islam transnasional di samping Ahmadiyah, Shiah dan Wahabbi. Kelompok ini didirikan pada 1927 di India oleh Muhammad Ilyas al Kandlawi. Di Indonesia, jumlah pengikutnya berkisar 2-5 juta orang, sedangkan di seluruh dunia bisa mencapai 50 juta orang.
Responsif di Ormas Nasional
Di tingkat nasional, organisasi Islam Indonesia justru sangat responsif dengan wabah virus corona. Muhammadiyah dan NU misalnya, langsung membuat keputusan secara terpusat yang mengikat anggotanya dalam sejumlah anjuran. Posko-posko juga didirikan untuk mendukung upaya pemerintah menekan penyebaran virus corona.
Pembicara lain dalam seminar daring ini adalah Zuly Qodir dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dia menyebut, secara umum organisasi Islam di Indonesia bersepakat dengan pemerintah terkait penanganan corona.
“Kalau NU, Muhammadiyah, NW, Syarikat Islam, Al Wasliyah, Persis, sepakat, sebetulnya sudah 80 persen umat Islam di Indonesia sepakat dengan yang dianjurkan, tetapi ya memang masih ada 20 persen yang tidak sepakat. Yang tidak sepakat itu masa mau kita paksa,” kata Zuly Qodir.
Menurut data Muhammadiyah membelanjakan hingga Rp 130 miliar untuk penanganan virus corona di luar biaya yang dikeluarkan rumah sakit milik organisasi ini.
Zuly Qodir menyebut dukungan Muhammadiyah dalam upaya ini melalui 71 rumah sakit milik organisasi ini di seluruh Indonesia. Selain itu, dalam skala lebih kecil, peran juga diwujudkan dalam berbagai langkah. Seperti yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang kini memberikan subsidi lauk pauk bagi mahasiswa yang tidak mudik sebesar Rp 600 ribu sebulan. Kampus ini juga membagikan bantuan masker, APD dan perlengkapan kesehatan ke masyarakat.
Menurut riset UMY, sekitar 18 persen masyarakat tidak merasakan dampak cukup signifikan oleh pandemi ini, terutama terkait pendapatan. Sedangkan sekitar 30 persen terdampak ringan, 34 persen terdampak sedang dan 14 persen terdampak berat. .
Sementara Masnun Thahir, pimpinan NU Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebut organisasi itu memberikan respon spiritual dan emosional terkait pandemi virus corona. Sebagai organisasi keagamaan, NU meyakinkan anggotanya bahwa setiap persoalan dalam kehidupan dapat diselesaikan, tak terkecuali pandemi virus corona ini. Dengan jalur keagamaan, NU mencoba menekan ketakutan dan kecemasan masyarakat terhadap virus corona, dengan tetap mengedepankan sikap berhati-hati.
Masnun mengatakan, dalam NU ada keyakinan bahwa menjaga agar orang lain tidak tertular juga merupakan sebuah kewajiban. Pandemi ini justru harus dilihat sebagai kesempatan untuk belajar kembali nilai-nilai keluarga dan kewajiban memelihara alam semesta.
“Corona adalah cara Allah mengajarkan keadaban kepada manusia untuk selalu berbuat baik kepada sesama, termasuk alam semesta. Alam juga perlu iddah (jeda), untuk kembali kepada habitatnya. Tidak ada kebisingan, tidak ada transportasi, menunjukan bahwa alam butuh masa iddah atau masa jeda untuk menjadi normal kembali,” kata Masnun.
Masnun juga mengakui, tidak setiap fatwa yang dikeluarkan organisasi seperti NU dipatuhi oleh anggotanya, begitu pula yang terkait virus corona ini. Namun, dia meyakinkan bahwa bagi NU, kehati-hatian lebih penting dalam bersikap. [ns/ab]