Dalam sebuah acara dialog di Universitas Sumatra Utara Oktober lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim menyatakan bahwa sarjana Indonesia yang bekerja sesuai dengan program studinya maksimal hanya 20 persen.
Realita serupa juga dihadapi di Amerika Serikat. Harian Washington Post hampir satu dekade silam mengutip hasil penelitian dari Federal Reserve Bank of New York yang mendapati bahwa hanya 27 persen lulusan perguruan tinggi AS yang memiliki pekerjaan yang berkaitan erat dengan program studi mereka.
Sebelum pandemi COVID-19 mengubah banyak hal, media finansial Bloomberg mengutip hasil survei Intelligent.com tahun 2019 yang menunjukkan angkanya sekarang adalah 46 persen.
Latifa Nurhidayati dan Ria Yilmaz adalah dua diaspora Indonesia yang tidak termasuk di antara yang sedikit itu.
Latifa, sarjana pertanian dari UPN Veteran Yogyakarta, sempat bekerja beberapa tahun pada proyek pengendalian hama terpadu untuk tanaman padi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) di Indonesia. Setelah itu,“Waktu saya pindah ke Washington DC, nggak ada pertanian. Jadi nggak ada sawah, dan sebangsanya. Adanya non-profit (nirlaba) untuk sektor agriculture. Tapi biasanya mereka itu banyak menulis proposal untuk mendapatkan grant.”
Terkendala kurangnya pengalaman menulis dan kemampuan berbahasa Inggris ketika itu, Latifa tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, sampai akhirnya ia diterima untuk pekerjaan administratif di perusahaan telekomunikasi MCI.
“Konsep saya tuh, pokoknya saya diterima dulu, nggak pilih-pilih mau bagian apa. Nanti kalau sudah masuk kan kita bisa melamar posisi yang disukai,” imbuhnya.
Lebih dari dua dekade kemudian, setelah mendapati bahwa bidang yang bersifat teknis lebih menarik baginya, Latifa menjadi project manager di Verizon, perusahaan telekomunikasi besar di AS yang mengambil alih MCI.
Sementara itu Ria Yilmaz adalah lulusan SMA di Jakarta dan melanjutkan pendidikan tingginya di AS. Sebagai pendatang, ujarnya, “Saya melihat bidang apa nih yang kira-kira biaya kuliahnya murah, tapi belum banyak orang yang memiliki pekerjaan ini.”
Your browser doesn’t support HTML5
Ria memilih jurusan yang tidak terhitung favorit untuk membuat peluang kerjanya lebih besar. Ia mengawalinya dengan memilih dua jurusan, health care dan biomedical engineering untuk jenjang setingkat D-2. Jurusan terakhir itu akhirnya ia pilih untuk meraih gelar sarjananya. Setelah kuliah lagi untuk bidang clinical research selama dua tahun, ia kembali ke jurusan biomedical engineering untuk program S-2-nya.
Namun selama kuliah, ia bekerja dan magang di bidang yang sama sekali berbeda dengan bidang studinya. Ria banyak menggeluti bidang administratif, juga menekuni pekerjaan antara lain di bidang pembelian, pengaduan (procurement), distribusi dan rantai pasokan.
Seiring dengan kenaikan posisi dalam pekerjaannya, Ria terus menambah wawasan dengan mengikuti berbagai pelatihan yang sesuai. Gaji menjadi faktor yang membuat Ria bertahan dengan bidang pekerjaannya itu.
“Setelah lulus S-1, saya tidak punya uang untuk membayar student loan. Kalau saya mengambil profesi di bidang biomedical engineering, saya akan bekerja di entry level lagi,” jelasnya.
Penghasilannya ketika itu memang sudah hampir dua kali lipat penghasilan tingkat pemula untuk pekerjaan yang sesuai ilmunya. Ini terjadi lagi setelah ia merampungkan program S-2.
Kini, seperempat abad setelah pekerjaan pertamanya, setelah menjalani beberapa jenis pekerjaan di beberapa perusahaan, ia menjadi kepala departemen purchasing (pembelian) di sebuah jaringan rumah sakit besar di Northern Virginia.
Kesempatan lebih banyak
Di Amerika, berganti bidang profesi seperti ini sama sekali bukan hal aneh, kata Ria. Pasalnya, secara umum tak sedikit orang muda yang belum mengetahui kemampuan dan bakat mereka sewaktu pertama kali masuk perguruan tinggi. Ada yang kemudian magang bekerja di di luar bidang keilmuan mereka.
Seperti seorang rekan kerja Ria, lulusan jurusan fashion design. Karena semasa kuliah magang di bagian pembelian sebuah toko farmasi hingga memahami seluk beluknya, sang rekan akhirnya bekerja di bidang ini.
Latifa membenarkan bahwa di AS kesempatan untuk berganti bidang pekerjaan semacam itu lebih banyak. “Kalau ada kemauan, bisa ganti-ganti kapan pun, asalkan kamu kerjanya bagus, etik kerjanya bagus,” imbuhnya.
Perusahaan nantinya tidak akan melihat latar belakang edukasi, tetapi mempertimbangkan hasil kerja karyawan bersangkutan, lanjut Latifa.
Ria menambahkan, “Kalau saya keukeuh di bidang yang bukan bidang (ilmu) saya, tapi saya sudah punya pengalaman 5, 10, 15 tahun, perusahaan melihat (saya) sudah expert di bidang itu. They don’t care about my education anymore. Yang mereka akan tanyakan adalah apakah saya mengerti, bisakah saya bekerja di luar bidang ilmu saya, punya skill atau tidak, punya critical thinking atau tidak.”
Kuncinya, lanjut Ria, mau belajar sendiri untuk hal-hal yang tidak didapatkan dari jalur pendidikannya. Ia rajin mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan perusahaan tempat kerjanya, meminta dipindahkan ke departemen lain untuk mengetahui cara kerja di sana, dan meminta diberi kesempatan untuk bekerja di sana. Intinya, harus aktif, “Cepat tanggap, pintar mencari peluang di perusahaan.”
Your browser doesn’t support HTML5
Latifa juga mengingatkan pentingnya mengikuti sebanyak-banyaknya pelatihan atau pendidikan yang menunjang karier di dalam maupun di luar perusahaan tempat kerja. Apalagi di Amerika, lanjutnya, sudah umum bagi perusahaan besar untuk menyisihkan dana atau beasiswa bagi karyawan yang ingin kembali bersekolah.
Untuk mereka yang ingin berkarier di luar bidang ilmunya, di mana pun kita berada, imbuh Latifa, “Jangan takut. Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Kerja keras, harus agresif, karena kalau tidak, orang tidak akan memberi kesempatan.” [uh/ab]