Bentrokan Suku di Darfur Barat, 200 Orang Dilaporkan Tewas

Are tempat terjadinya bentrokan antara kelompok nomaden Arab dengan anggota etnis Massalit di Al Geneina, ibu kota Darfur Barat. (Foto: AFP)

Bentrokan antara kelompok nomaden Arab dan para petani lokal di negara bagian Darfur Barat, Sudan, yang menewaskan lebih dari 200 orang selama akhir pekan lalu, telah meluas ke ibu kota negara bagian, Al Geneina, pada Senin (25/4). PBB telah mengutuk lonjakan kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut.

Kerusuhan yang dimulai pada Jumat (22/4) itu terjadi menyusul penemuan mayat dua pengembara sehari sebelumnya di dekat desa Hasaba, di luar kota Kreinik.

BACA JUGA: Demonstran Darfur di Den Haag Tuntut Penyerahan Omar al-Bashir 

Menurut laporan awal, 201 mayat telah diidentifikasi di jalan-jalan dan tempat-tempat umum lainnya, tetapi jumlah korban tewas kemungkinan akan terus bertambah, kata Assadiq Mohammed, kepala departemen kemanusiaan Darfur Barat.

“Banyak orang tewas di dalam rumah mereka. Situasinya tidak kondusif untuk melakukan penghitungan lagi. Jelas, jumlahnya mungkin bertambah,” kata Mohammed kepada VOA, pada Senin (25/4).

Matriks Pelacakan Pengungsian di Sudan, yang diproduksi oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), sebuah badan PBB, memperkirakan 7.500 hingga 12.500 keluarga di sekitar Kreinik mencari perlindungan di kompleks militer lokal selama akhir pekan.

Adam Zachariah, seorang dokter di rumah sakit utama Al Geneina, yang berbicara dengan wartawan VOA pada Senin, mengatakan kelompok nomaden Arab bersenjata telah menyerbu rumah sakit, menuntut perawatan bagi rekan-rekan mereka yang terluka dalam bentrokan itu.

BACA JUGA: Pemimpin Milisi Darfur akan Diadili di Pengadilan Kejahatan Internasional

“Baku tembak berlanjut pagi ini,” kata Zachariah, seraya menambahkan bahwa enam tentara Sudan dilaporkan dibunuh oleh Pasukan Dukungan Cepat, sebuah kelompok paramiliter.

Zachariah, yang bersembunyi, mengatakan dia dan petugas kesehatan lainnya telah melarikan diri dari fasilitas itu.

“Situasi di Al Geneina tegang dan rumah sakit utama ditutup karena para petugas kesehatan tidak aman untuk menjalankan tugas mereka. Sebagian dari kami telah diancam, dipukuli dan dipaksa untuk merawat orang yang terluka,” kata Zachariah kepada VOA. [lt/em]