Benturan Kebudayaan Abad 19 dalam ‘King and I’ Masih Relevan

'The King and I' Abad 21

Broadway menampilkan kembali kisah klasik karya Rodgers dan Hammerstein "The King and I" dengan interpretasi yang lebih kontemporer.

Kisah-kisah klasik, baik novel, pertunjukan teater maupun film, tidak lekang waktu karena memiliki pesan yang relevan untuk setiap generasi. Hal itu terjadi pada pembuatan kembali karya Rodgers dan Hammerstein The King and I untuk panggung Broadway.

Versi abad 21 dari pertunjukan tersebut mendapat sembilan nominasi Tony Award.

Sutradara Bartlett Sher telah akrab dengan The King and I sejak ia tampil dalam pertunjukan di SMA, namun baru setelah menggarap versi barunya ia menggali sejarah aktual di belakang kisah itu dengan lebih dalam.

Musikal 1950an itu didasarkan pada novel biografis 1940an mengenai seorang perempuan Inggris di Kerajaan Siam. Pada 1862, atas undangan Raja Mongkut, perempuan muda berdarah Inggris dan India, Anna Leonowens, datang mengajar di kerajaan.

“Bagi saya, luar biasa melihat Anna sebagai perempuan, pada pertengahan abad 19, untuk menjadi guru sekolah, independen dari negara manapun, dan mengajar perempuan-perempuan muda di sebuah negara berkembang dan membantu mereka mendapat pendidikan. Melihat bahwa pada 1951, Oscar Hammerstein tertarik pada kisah ini betul-betul luar biasa,” ujar Sher.

Sher, yang mendapat Tony Award pada 2008 karena menyutradarai karya Rodgers dan Hammerstein, South Pacific, memperlakukan karya tulis duo itu dengan cara yang sama saat ia memperlakukan karya Shakespeare atau Clifford Odets – mengurai naskah untuk menemukan hal-hal yang relevan untuk masa sekarang.

Ia mengatakan “Getting to Know You,” salah satu lagu terpenting dalam pertunjukan tersebut, tidak hanya mengenai hubungan antara Anna dan istri-istri serta anak-anak Raja.

“Upaya murni dan kualitas ‘mengenal orang lain’ sangat mengesankan, mengingat sekarang di negara kita dan dunia yang sangat terbagi dalam banyak hal,” ujarnya.

“Upaya kecil untuk merengkuh sebuah budaya, untuk mencoba membantu mereka memahaminya dan sebaliknya, dengan cara-cara yang paling sederhana.”

Sebagian besar dari 51 pemain The King and I adalah orang Amerika keturunan Asia dan mereka menjadi mengenal sebuah dunia, Thailand di abad 19, yang masih sangat asing bagi mereka.

“Saya kira bagian tersulit untuk kaum perempuan – untuk perempuan-perempuan Asia sangat modern yang ada dalam pertunjukan sekarang ini – adalah untuk memahami bagaimana membagi suami kita?” ujar Ruthie Ann Miles, yang bermain sebagai Lady Thiang, salah satu dari banyak istri Raja.

“Jadi kami membahasnya, bagaimana kita melakukannya dan seberapa cemburu kita terhadap satu sama lain? Apa hubungan internalnya?”

Penerimaan Siam atas poligami membuat orang luar menganggap negara itu “barbar.” Raja membawa Anna Leonowens ke istananya, sebagian untuk menepis persepsi itu dan pikiran Barat untuk menjajah. Penulis Oscar Hammerstein tidak takut untuk memasukkan isu-isu politik dan sosial dalam karyanya, yang tampak jelas dalam sebuah wawancara pada 1950an.

“The King and I merupakan sebuah pergulatan dalam pria yang mencoba menjadi liberal namun lahir sebagai konservatif,” ujar Hammerstein.

“Ia lahir dengan keyakinan bahwa kekuasaan raja yang absolut tidak boleh dipertanyakan, namun ada sesuatu yang menarik dirinya dari demokrasi Barat dan pengasuh yang datang ke kerajaannya merupakan pendukung demokrasi, dan ia betul-betul menghancurkannya, dengan memberi keraguan mendalam atas kekuasaannya.”

Dalam produksi terbaru, bintang film Jepang Ken Watanabe berperan sebagai Raja Thai dan bintang Broadway Kelli O’Hara bermain sebagai Anna. O’Hara mengatakan ia memainkan karakter yang Anna inginkan: mulia, berpendidikan, adil dan kuat.

“Ia memperbaiki dirinya supaya mendapat pekerjaan, supaya dapat mengasuh anak-anaknya setelah suaminya meninggal,” ujar O’Hara.

“Ia berdarah campuran, dan ia melakukan apa yang harus dilakukan. Dan kemudian ia menulis buku-buku tentang itu dan mengenai karakter yang ia ingin capai. Ia ingin menjadi perempuan berharga, dihormati, inspirasional. Dan saya menyukai itu darinya.”

Bagi sutradara Sher, ide besar dari pertunjukan itu adalah kekuatan perempuan.

“Ketegangan yang kita lawan sekarang, antara pandangan tradisional soal budaya dan masyarakat, serta mengubah, mentransformasi pandangan-pandangan itu,” ujarnya.

“Dan seperti yang selalu kita pelajari, perempuan dan peran perempuan menjadi pusat perbincangan tersebut. Dan pada pusat kisah ini, apakah itu Lady Thiang atau Anna Leonowens, ada bias-bias berbeda mengenai peluang-peluang dan kemungkinan perjalanan perempuan dalam budaya.”

Dan itu, menurutnya, adalah sesuatu yang nyata terjadi dalam masyarakat di Timur Tengah, Asia dan Amerika Serikat.