Selama dekade terakhir, China mendanai pembangunan proyek infrastruktur besar-besaran di Sri Lanka yang dimaksudkan untuk meningkatkan perekonomian negara itu. Namun, setelah keruntuhan ekonomi di negara kecil di kawasan Samudera Hindia itu awal tahun ini, muncul pertanyaan apakah berbagai proyek tersebut telah berkontribusi pada krisis terburuk yang pernah dihadapi Sri Lanka.
Port City yang mendominasi kawasan tepi laut di Kolombo dibangun di atas lahan seluas 269 hektare yang direklamasi dari laut. Ini akan menjadi pusat bisnis dan keuangan yang berkembang pesat, tetapi praktis terlihat terbengkalai. Bandara internasional yang dibangun satu dekade silam di kota Mattala disebut sebagai “bandara paling kosong di dunia.” Kedua proyek yang didanai China itu dianggap sebagai “gajah putih” yang menambah utang Sri Lanka.
“Bandara itu tidak berfungsi. Port City di Kolombo seharusnya menarik investor internasional, tetapi tidak ada satupun investor sekarang ini,” kata
Asanga Abeyagoonasekera, analis keamanan dan geopolitik Sri Lanka. “Ada pernyataan mengenai model pendapatan dari semua proyek ini karena secara finansial mereka tidak layak. Proyek-proyek itu dibangun dengan sejumlah besar pinjaman dengan tingkat bunga yang tinggi.”
Fokus tertuju pada berbagai proyek yang didanai China sewaktu Sri Lanka kehabisan devisa untuk mengimpor bahan makanan, bahan bakar dan obat-obatan pada awal tahun ini. Kemerosotan ekonomi yang sangat besar itu telah mendorong banyak di antara 22 juta warganya terjerumus dalam kemiskinan. Di negara yang dulu pernah tergolong berpenghasilan menengah itu, taraf hidup anjlok sementara inflasi melonjak. Program Pangan Dunia (WFP) memperkirakan hampir 6 juta orang memerlukan bantuan makanan.
Krisis di negara itu disebut disebabkan karena salah kelola ekonomi oleh pemerintah sebelumnya yang dipimpin mantan presiden Mahinda Rajapaksa dan pandemi COVID-19 yang menyebabkan hilangnya pendapatan penting dari sektor pariwisata di negara itu.
Para analis mengatakan miliaran dolar yang dikeluarkan untuk berbagai proyek yang didanai China memperdalam kesulitan Sri Lanka. Menurut perkiraan, bagian dari pinjaman China dalam utang $40 miliar Sri Lanka berkisar 10 hingga 20 persen.
“China dikenal menyusun pengaturan yang kerap kali menjadi jauh lebih mahal daripada yang terlihat di dokumen,” kata Harsh Pant, wakil presiden untuk bidang studi dan kebijakan asing di Observer Research Foundation di New Delhi. “Ketidakmampuan kalangan politik Sri Lanka untuk memahami konsekuensi jangka panjang dari keuntungan jangka pendek yang mereka dapat dari China telah memungkinkan hal ini terjadi.”
Sri Lanka adalah satu dari beberapa negara yang menandatangani prakarsa Sabuk dan Jalan China, di mana Beijing memberikan pinjaman kepada negara-negara berkembang untuk membangun jalan, bandara, pelabuhan dan infrastruktur lainnya. [uh/ab]