Berita hoaks atau fake news perang Hamas dan Israel membanjiri media sosial, jauh lebih cepat dibanding rudal-rudal Qassam yang digunakan Hamas, dan tanpa penangkal secanggih Iron Dome Israel.
Foto dan petikan video yang diberi judul “sejumlah laki-laki bersenjata Hamas memasuki festival musik Israel dengan paraglider dan melancarkan serangan masif yang menelan banyak korban jiwa” beredar luas di platform X – yang dulu dikenal sebagai Twitter. Jutaan orang menonton video pendek tersebut, yang kemudian terbukti sebagai video pasukan terjun payung Mesir yang melintas di atas Akademi Militer Mesir di Kairo.
Ada pula berita pendek dengan logo bercitra Gedung Putih, yang menyatakan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberikan bantuan militer bernilai 8 miliar dollar AS untuk Israel. Biden memang menawarkan “segala dukungan yang diperlukan” bagi Israel, termasuk mengirim kapal induk USS Gerald R. Ford dan beberapa kapal perusak ke Timur Tengah, tapi tidak memberikan bantuan militer sebesar itu. Foto yang digunakan dalam berita ini adalah foto ketika Biden menyetujui bantuan bernilai 400 juta dollar AS bagi Ukraina pada Juli lalu.
Hoaks Berkelindan dengan Politik Identitas dan Agama
Menurut pakar media sosial di Universitas Indonesia, Dr. Firman Kurniawan, misinformasi dan disinformasi saat perang bukan hal yang baru. Namun berita hoaks yang beredar terkait perang Hamas dan Israel saat ini sudah sangat berbahaya, karena menyentuh hal sensitif seperti politik identitas dan agama.
“Sebetulnya fake news di saat perang bukan hal baru karena di abad ke-31 sebelum Masehi, sudah terjadi di Kerajaan Romawi, sehingga ada jargon – ketika perang terjadi, kebenaran adalah korban yang pertama,” ujarnya membuka wawancara dengan VOA.
Menurutnya ada tiga cara yang membuat produksi fake news dalam perang Hamas-Israel ini begitu masif.
“Pertama, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan informasi, yaitu ketika ada suatu peristiwa besar terjadi dan masyarakat sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kedua, ketika mereka yang terlibat peperangan – dalam hal ini Hamas dan Israel – sama-sama ingin mendapat dukungan publik. Walaupun tindakan mereka dibungkus dengan alasan misi kemanusiaan misalnya, mereka masih membutuhkan persetujuan publik bahwa tindakan itu benar untuk kemanusiaan," ujarnya.
"Ketiga, ketika semua orang bisa memproduksi dan mendistribusi informasi. Hari ini ketiga titik itu bertemu sehingga ketika satu pihak menghendaki adanya dukungan, diproduksi lah informasi yang secara emosional dapat mendorong dukungan,” papar pakar komunikasi digital ini.
Pengamat media yang juga mantan wartawan senior Kompas, Satrio Arismunandar, memiliki pandangan yang sama, bahwa fake news yang meluas dengan cepat bak jamur di musim hujan ini, bukan fenomena baru.
“Hanya saja ketika sekarang ada berbagai perangkat media dan teknologi informasi yang canggih, jadi semakin dipermudah. Israel dan Hamas tentunya punya semacam humas atau perangkat propaganda, tetapi yang sekarang ramai itu justru mereka-mereka yang inisiatif sendiri, yang tidak bisa dikontrol karena menyentuh emosional mereka… Ini berbeda dengan saat perang Ukraina-Rusia, yang tidak tidak terlalu menyentuh warga Indonesia. Tetapi lain ketika bicara soal Palestina, atau Bosnia, yang langsung membangkitkan emosi warga kita,” ujarnya.
Ironisnya ketika fake news ditelan mentah-mentah maka akibatnya bukan sekedar menimbulkan kebingungan dan ketakutan, tetapi juga salah mengambil keputusan yang dalam suasana perang sangat berisiko.
Hal itu dirasakan Thadeo Arlo, mahasiswa Indonesia yang bertahan tinggal di Tel Aviv karena masih belum kondusifnya situasi untuk keluar dari kota Israel tersebut. Dalam situasi konflik sekarang ini, Deo mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diterimanya. Menurutnya terlalu berisiko ketika informasi yang didapat ternyata fake news.
“Yang pasti saya tidak akan pernah buka TikTok. Saya hanya mau menerima informasi dari organisasi yang memang jelas, misalnya kampus atau pemerintah. Saya juga tidak melihat dari Instagram atau Telegram karena banyak yang tidak akurat," ujarnya.
Platform X Dibanjiri Fake News
X disebut-sebut sebagai platform media sosial di mana paling banyak terdapat klaim dan petikan berita yang menyesatkan dan gambar atau foto yang direkayasa terkait perang Hamas-Israel.
Mengutip pernyataan beberapa peneliti media sosial, kantor berita Reuters melaporkan salah satu penyebabnya adalah karena Elon Musk, sang pemilik X saat ini, menghilangkan akses ke piranti yang memungkinkan mengkaji asal-usul dan proliferasi informasi yang salah, yang dulu dilakukan secara otomatis dengan melacak kata kunci, tagar, dan informasi lain tentang suatu peristiwa.
Ruslan Trad, resident fellow di Atlantic Council’s Digital Forensic Research Lab mengatakan kepada Reuters, tanpa piranti itu, para peneliti kini harus menganalisa ribuan tautan secara manual.
Musk juga membuat pengguna X harus membayar untuk memverifikasi akun mereka dan memungkinkan pengguna tertentu mendapatkan sebagian dari penjualan iklan secara bagi hasil dengan X.
Renee DiResta, seorang manajer penelitian di Stanford Internet Observatory mengatakan perubahan ini memberikan insentif kepada akun berbayar untuk menyebarkan klaim provokatif atau palsu guna mendapatkan pengikut.
Dalam sebuah pernyataan di X, pengelola platform yang memiliki lebih dari 528 juta pengguna itu mengatakan telah menghapus akun-akun yang baru dibuat, yang berafiliasi dengan Hamas dan telah “menindak puluhan ribu posting atau pernyataan dalam bentuk grafis, ujaran kekerasan dan perilaku kebencian.”
Namun X tidak merinci tindakan yang telah diambil terhadap unggahan-unggahan dimaksud, yang dapat dihapus atau dikurangi penyebarluasannya oleh X.
Kiat Identifikasi Fake News di Masa Konflik
Meskipun sudah berulang kali mengungkapkan kiat-kiat untuk mengidentifikasi fake news, Dr. Firman Kurniawan sekali lagi menyarankan para pengguna media sosial untuk “pertama, menyadari bahwa pada masa perang, semua pihak menghendaki dukungan bagi dirinya yang dicapai dengan produksi informasi untuk menyudutkan pihak lain. Dalam mencapai tujuan itu, mereka tidak mengindahkan kebenaran informasi. Ada tendensi untuk memalsukan informasi di waktu perang."
"Kedua, kita perlu memvariasi sumber-sumber informasi kita, jadi tidak hanya dari satu arah saja, tapi perlu cek fakta. Hari ini perangkat untuk cek fakta tersedia luas dan gratis, sehingga kita tahu informasi A diproduksi kapan dan dalam konteks apa. Ketiga, kita perlu mempelajari teknik-teknik mereka yang memproduksi fake news. Misalnya dengan menunggangi peristiwa yang emosional, memanfaatkan algoritma, produksi dengan menggunakan deep fake dan seterusnya. Ini terus berkembang. Tapi ketika kita tahu, kita terbiasa untuk tidak meletakkan informasi sebagai sesuatu yang langsung dipercaya," paparnya.
BACA JUGA: Penasehat Keamanan Nasional AS: Intelijen Tidak Melihat Tanda-tanda akan Adanya Serangan Hamas ke IsraelYang menjadi catatan penting, tambah Firman, para pengelola platform media sosial tampak jelas menghadapi tantangan antara memoderasi konten agar tidak dijamuri fake news atau membiarkan informasi menyebar secara real time, apa adanya, yang berarti berpotensi memperluas fake news.
Uni Eropa Surati Musk
Uni Eropa pada Selasa (10/10) mengeluarkan peringatan kepada Elon Musk atas dugaan membiarkan meluasnya disinformasi mengenai serangan Hamas ke Israel, termasuk fake news dan “gambar-gambar lama yang telah direkayasa” di X.
Komisioner yang bertanggung jawab atas isu ini, Thierry Breton, melayangkan sepucuk surat kepada Musk, mendesaknya memberikan “tanggapan yang cepat, akurat dan lengkap” terhadap permintaan untuk menghubungi Europol dan lembaga penegak hukum yang relevan” dalam 24 jam setelah diterimanya surat itu.
Surat itu disampaikan kurang dari dua bulan setelah Uni Eropa memberlakukan aturan hukum baru yang mengatur konten di media sosial, sesuai UU Layanan Digital.
Jika Musk tidak mematuhi apa yang diminta maka ia dapat dikenai denda sebesar enam persen dari pendapatannya di X, atau berisiko ditutup total di seluruh Uni Eropa. Belum diketahui apakah Musk akan memenuhi permintaan itu atau tidak. [em/ah]