Terkait rencana pengajuan utang tersebut, Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan pendapat. Pemerintah, katanya, mendukung langkah yang akan diambil PT KCIC untuk dapat meneruskan proyek tersebut karena semua pihak harus mendukung transportasi massal.
“Sehingga yang namanya MRT, LRT, Kereta Api, Kereta Api Cepat itu menjadi sebuah keharusan bagi kota-kota besar agar moda transportasi terintegrasi di dalam kota maupun dari kota ke kota, sehingga orang tidak cenderung kepada yang namanya mobil pribadi,” ungkap Jokowi.
MRT atau mass rapid transit adalah sistem transportasi transit cepat yang menggunakan kereta rel listrik untuk beroperasi, sementara LRT atau light rail transit adalah moda transportasi berbentuk kereta dengan konstruksi ringan yang beroperasi di area perkotaan.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, nilai pembengkakan biaya dalam proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang telah disepakati oleh Indonesia dan China adalah sebesar $1,2 miliar. Untuk dapat menutupi pembengkakan biaya tersebut Indonesia, lewat PT KCIC, berencana meminjam dari China Development Bank (CDB) senilai $550 juta atau sekitar Rp8,3 triliun.
“Itu porsi (pinjaman) yang kita butuhkan nanti sekitar $550 juta. Itu sudah diajukan ke CDB, kita sedang negosiasikan struktur final dan harganya. Seharusnya minggu depan akan punya struktur final dan diteken dalam bentuk ekuitas,” ungkap Wamen BUMN yang akrab dipanggil Tiko ini.
BACA JUGA: Jokowi Targetkan Kereta Cepat Jakarta-Bandung Beroperasi Juni 2023Ia menjelaskan Indonesia dan China ikut menanggung pembengkakan biaya tersebut, di mana 25 persen berasal dari setoran ekuitas, dan 75 persen berasal dari pinjaman utang. Dari porsi pinjaman tersebut, menurit Tiko, Indonesia o menanggung sebanyak 60 persen sementara China 40 persen.
Kurang Mitigasi Risiko
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan pembengkakan biaya dalam proyek ini merupakan akibat dari perencanaan yang buruk sehingga tidak ada mitigasi risiko dari awal. Alhasil, katanya, pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit.
“Jadi akhirnya larinya ke utang. Utang dalam jangka pendek mungkin bisa mengatasi permasalahan APBN, tapi dalam jangka panjang bisa membebani ekonomi, membebani APBN itu sendiri dan juga rakyat. Padahal pasca COVID-19 utang kita juga sudah membengkak, jadi artinya ini akan semakin membebani, baik ke pemerintah maupun ke BUMN atau swasta,” kata Faisal.
Seharusnya, kata Faisal, pemerintah membebankan sebagian besar pembengkakan biaya itu kepada konsorsium China karena mereka keliru dalam melakukan kalkulasi awal.
“Tapi karena ini mungkin sudah kesulitan dalam hal bernegosiasi, maka akhirnya jatuh kepada utang ke CDB. Kalau itu yang menjadi opsinya maka ini perlu ada negosiasi lebih lanjut dari sisi bunga, yang kita tidak tahu seberapa besar bunganya. Kalau bunganya semakin besar ya sudah pasti semakin rugi. Dalam kondisi seperti ini, semestinya kalaupun harus berutang, untuk meneruskan karena ini kalau mangkrak biayanya lebih besar lagi, bagaimana negosiasi untuk mendapatkan special rate untuk proyek ini dari China Development Bank,” jelas Faisal.
BACA JUGA: Harga Tiket Kereta Cepat Jakarta Bandung Maksimal Rp250 RibuSementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengungkapkan pembengkakan biaya dalam membangun sebuah proyek infrastruktur lumrah terjadi. Meski begitu, ia menganggap proyek awal kereta cepat ini tidak dipersiapkan dengan matang.
“Memang saya melihat awal dulu agak terlalu tergesa-gesa perjanjiannya. Saya lihat kalau dengan China itu harus jelas, mungkin karena terburu-buru lalu ada orang sekitar Presiden yang membisiki yang mungkin dapat keuntungan juga dari situ, inilah yang terjadi. Tetapi barangnya sudah jadi, jangan sampai mangkrak, kalau mangkrak nantinya seperti Hambalang, ini harus terwujud. Tapi konsensi saja diperpanjang, aturan Bappenas direvisi,” ungkap Djoko kepada VOA.
Terkait rencana peminjaman, ia mengatakan, proyek kereta cepat seharusnya tidak membebani anggaran negara karena bersifat business to business.. [gi/ab]