Setelah pemilihan pendahuluan presiden pada Super Tuesday, di mana Presiden Demokrat Joe Biden dan mantan Presiden Republik Donald Trump mendominasi surat suara partai masing-masing, kedua tokoh tersebut menyampaikan pesan publik yang pedas tentang satu sama lain dan deskripsi yang sangat berbeda tentang keadaan negara.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan Selasa malam, Biden memperingatkan bahwa kepresidenan Trump yang kedua akan menimbulkan “ancaman nyata” terhadap demokrasi Amerika. Sementara itu, dalam pidato yang disampaikan di resor Mar-a-Lago di Palm Beach, Trump menyebut Biden sebagai presiden terburuk dalam sejarah negara AS.
Para ahli mengatakan warga Amerika bisa mengharapkan kondisi yang sama – dan mungkin lebih – di mana kedua kandidat akan saling bertukar komentar pedas dalam delapan bulan menjelang pemilu.
‘Orang-orang akan muak karenanya’
Seth Masket, seorang profesor ilmu politik dan direktur Pusat Politik Amerika di Universitas Denver, kepada VOA mengatakan karena Biden dan Trump begitu dikenal oleh para pemilih AS, mereka akan lebih fokus untuk saling menjatuhkan daripada membangun citra diri mereka sendiri.
Masket mengatakan dia memperkirakan akan ada banyak hal negatif dalam kampanye karena Trump berusaha meyakinkan warga Amerika bahwa, karena Biden, perekonomian dan masyarakat pada umumnya akan terpuruk sementara Biden mempertahankan rekam jejaknya dan mengingatkan para pemilih akan banyak disfungsi yang terjadi di Gedung Putih Trump.
“Trump akan berusaha menggambarkan kondisi saat ini sebagai kondisi terburuk yang pernah ada,” kata Masket. “Biden akan mencoba untuk menggambarkan kondisi saat ini sebagai hal yang baik… dan juga, dia akan berupaya untuk mengingatkan orang-orang akan kekacauan yang terjadi pada tahun terakhir pemerintahan Trump, dengan pandemi dan pemberontakan serta segala macam hal lain yang terjadi pada tahun itu.
“Ya, orang-orang akan muak dengan hal itu, tapi saya sulit membayangkan mereka akan beralih dari hal itu,” katanya.
Keluhan dan Kebohongan
Biden pada Selasa (5/3) malam mengingatkan para pemilih bahwa ia telah mencapai rekor pertumbuhan lapangan kerja dan kenaikan upah serta mencatatkan kemenangan dalam kebijakan terkait obat resep dan senjata. Namun, sebagian besar pernyataan tersebut berfokus pada peringatan tentang seperti apa masa jabatan Trump yang kedua.
BACA JUGA: Biden, Trump Menuju Pertarungan Ulang setelah Kemenangan di ‘Super Tuesday’“Jika Donald Trump kembali ke Gedung Putih, semua kemajuan ini terancam,” kata Biden. “Dia didorong oleh keluhan dan kebohongan, fokus pada balas dendam dan pembalasannya sendiri, bukan pada rakyat Amerika. Dia bertekad untuk menghancurkan demokrasi kita, merampas kebebasan mendasar seperti kemampuan perempuan untuk membuat keputusan layanan kesehatan sendiri, dan memberikan potongan pajak miliaran dolar lagi kepada orang kaya – dan dia akan melakukan atau mengatakan apa pun untuk membuat dirinya berkuasa.”
Memo strategi kampanye Biden yang dirilis kepada pers pada Rabu (6/3) pagi juga menekankan kasus tersebut terhadap Trump.
“Donald Trump tertatih-tatih dalam pemilihan umum sebagai kandidat yang terluka, berbahaya, dan tidak populer,” kata memo itu. “Calon Partai Republik kekurangan dana, terkepung oleh sejumlah masalah eksternal, dan menjalankan agenda ekstrem yang terbukti menjadi beban besar bagi blok-blok pemungutan suara utama yang sangat penting dalam jalur menuju 270 suara elektoral.”
‘Negara Sedang Sekarat’
Trump menyaksikan hasil Super Tuesday dari Mar-a-Lago, resor miliknya di Palm Beach, Florida, dan kemudian berpidato di depan kerumunan pendukungnya. Mantan presiden tersebut memberikan gambaran suram tentang keadaan negaranya, dengan mengklaim bahwa AS telah menerima “pukulan hebat” selama tiga tahun Biden menjabat.
Dia mengutip berbagai tantangan di dalam dan luar negeri yang muncul selama masa jabatan Biden, termasuk inflasi harga konsumen dan perang di Ukraina dan Gaza, dan menegaskan bahwa hal ini tidak akan terjadi jika dia menjabat.
Sebagian besar fokus Trump adalah pada krisis yang sedang berlangsung di perbatasan selatan, yang menyebabkan otoritas imigrasi dan pejabat negara kewalahan menghadapi ratusan ribu migran gelap. Tanpa bukti, ia menekankan bahwa AS sedang mengalami gelombang kejahatan yang didorong oleh imigrasi.
“Kita harus mendeportasi banyak orang, banyak orang jahat, karena negara kita tidak bisa hidup seperti ini,” kata Trump. “Kota-kota kita tercekik sampai mati. Negara bagian kita sedang sekarat. Dan sejujurnya, negara kita sedang sekarat.”
BACA JUGA: Trump Berupaya Perkokoh Cengkeraman Nominasi di 'Super Tuesday'Trump juga menuduh presiden saat ini salah menangani penarikan pasukan AS dari Afghanistan, hubungan AS dengan China, dan masalah terkait kemandirian energi.
Pada hari Rabu, setelah kalah dalam 14 dari 15 pemilihan pendahuluan pada malam sebelumnya, mantan Gubernur Carolina Selatan Nikki Haley, satu-satunya penantang Trump untuk nominasi Partai Republik, menangguhkan kampanyenya. Karena fokusnya pada Biden, Trump tidak menyebut nama Nikki Haley dalam pidatonya Selasa malam.
Pedoman Trump pada 2016
Tema-tema yang ditekankan Trump dalam pidatonya sangat mirip dengan kampanye yang ia jalankan pada tahun 2016, ketika ia berfokus pada migrasi terkait perbatasan Selatan sejak ia mendeklarasikan pencalonannya.
“Mantan presiden ini punya sejarah menggunakan pedoman perpecahan untuk mencoba menggerakkan bola ke depan,” kata Amy Dacey, direktur eksekutif Sine Institute of Policy & Politics di American University, kepada VOA. “Kita melihat hal ini pada tahun 2016. Dia mengatakan bahwa dia memahami kemarahan dan kegelisahan masyarakat dan siapa sebenarnya penyebabnya: Orang-orang yang melintasi perbatasan.
BACA JUGA: Putin: Rusia Lebih Memilih Biden untuk Memenangkan Pilpres AS“Saya kira dia akan kembali ke pedoman tahun 2016 itu,” kata Dacey. “Apakah orang-orang akan menganggapnya sebagai inspirasi atau tidak, masih harus dilihat.”
Dacey mencatat bahwa meskipun Biden langsung menyerang Trump pada Selasa, dia dalam pidato kenegaraannya di depan Kongres pada Kamis malam akan berkesempatan untuk menyoroti kemampuannya berkompromi dengan anggota Partai Republik lainnya terkait undang-undang penting selama masa jabatan pertamanya, dan untuk menyoroti bidang-bidang potensi kerja sama di masa depan.
“Di State of the Union (pidato kenegaraan) minggu ini, saya kira akan ada beberapa isu yang bisa mencapai konsensus, apakah itu membatasi fentanil dan masalah narkoba, membantu para veteran atau mengakhiri kanker. Ada beberapa hal yang jelas bersifat bipartisan dan berdampak pada semua orang, jadi bagaimana dia akan membicarakannya?" ujar Dacey. [my/rs]