Biden Dukung Pemimpin Mayoritas Senat yang Serukan Pemilu Baru di Israel

  • Associated Press

Presiden Joe Biden dan Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer (kiri) dalam sebuah acara di Syracuse, New York, 27 Oktober 2022. (Foto: Manuel Balce Ceneta/AP Photo)

Presiden Joe Biden pada Jumat (15/3) menyatakan dukungannya kepada Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer setelah sang senator menyerukan Israel untuk menggelar pemilu baru. Hal tersebut merupakan indikasi terbaru bahwa hubungan AS dengan sekutu terdekatnya di Timur Tengah sedang menuju perpecahan akibat perang di Gaza.

Schumer, seorang Demokrat Yahudi dari New York, menimbulkan guncangan di kedua negara minggu ini ketika dia mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu “kehilangan arah". Ia memperingatkan bahwa “Israel tidak dapat bertahan jika menjadi paria” karena jumlah korban jiwa warga Palestina terus bertambah. Pariah sendiri merupakan istilah yang menggambarkan kondisi diisolasi.

“Dia menyampaikan pidato yang bagus,” kata Biden di Ruang Oval saat bertemu dengan perdana menteri Irlandia. “Saya pikir dia mengungkapkan keprihatinan serius yang tidak hanya dirasakan olehnya tetapi juga oleh banyak orang Amerika.”

Presiden Partai Demokrat tersebut tidak mengulangi seruan Schumer agar Israel mengadakan pemilu, sebuah langkah yang kemungkinan akan mengakhiri masa jabatan Netanyahu karena meningkatnya ketidakpuasan terhadap kepemimpinannya. Namun komentar Biden mencerminkan rasa frustrasinya terhadap Perdana Menteri Israel yang menghambat upaya memperluas bantuan kemanusiaan di Gaza dan menentang pembentukan negara Palestina merdeka.

BACA JUGA: Pemimpin Senat AS: Netanyahu 'Sudah Kehilangan Arah'

Titik pertikaian terbaru adalah tujuan Israel untuk mengejar Hamas hingga ke Rafah, sebuah kota di Gaza selatan di mana 1,4 juta warga Palestina yang mengungsi melarikan diri untuk menghindari pertempuran di utara. Kantor Netanyahu mengatakan pada Jumat bahwa mereka menyetujui operasi militer yang akan melibatkan evakuasi warga sipil, tetapi para pejabat AS khawatir tentang potensi gelombang pertumpahan darah baru.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, berbicara dari Wina, mengatakan, “Kita harus melihat rencana yang jelas dan dapat dilaksanakan” untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah dari serangan Israel.

“Kami belum melihat rencana seperti itu,” katanya.

Namun, Blinken mengatakan perbincangan sengit antara para pemimpin Israel dan Amerika tidak berarti aliansi tersebut retak.

“Itulah sebenarnya kekuatan hubungan ini, bisa berbicara dengan jelas, apa adanya, dan lugas,” ujarnya.

Asap membubung saat serangan darat Israel di Khan Younis di tengah konflik antara Israel dan kelompok Palestina, Hamas, dilihat dari kamp pengungsi di Rafah, bagian selatan Jalur Gaza, 14 Maret 2024. (Foto: Bassam Masoud/Reuters)

Ada kemungkinan bahwa serangan terhadap Rafah bisa dihindari. Negosiasi mengenai gencatan senjata dan pembebasan sandera sedang berlangsung di Qatar, di mana Netanyahu setuju untuk mengirim delegasi untuk melanjutkan pembicaraan.

Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, John Kirby, mengatakan AS tidak akan memiliki tim sendiri dalam perundingan tersebut, tetapi akan tetap terlibat dalam proses tersebut.

Dia juga mengatakan “terserah rakyat Israel untuk memutuskan” apakah pemilu harus diadakan. Ketika ditanya mengapa Biden memuji pidato Schumer, Kirby mengatakan presiden menghargai “semangat” sang senator.

Retorika Biden mengenai perang telah berkembang sejak konflik dimulai pada 7 Oktober, ketika Hamas menewaskan 1.200 warga Israel dalam serangan mendadak. Presiden Trump segera menyambut Netanyahu dan Israel sambil juga memperingatkan agar tidak “dikuasai” oleh kemarahan.

Sejak itu, Israel telah menewaskan lebih dari 30.000 warga Palestina di Gaza. Meskipun Biden terus mendukung hak Israel untuk membela diri, tetapi di sisi lain dia terus melontarkan kritik terhadap Netanyahu.

BACA JUGA: Israel Setujui Rencana Serang Rafah, tetapi Tetap Buka Opsi Gencatan Senjata

Setelah pidato kenegaraannya awal bulan ini, Biden mengatakan bahwa dia perlu melakukan percakapan “datang kepada Yesus” dengan Netanyahu. Dia juga menuduh Netanyahu “lebih menyakiti Israel daripada membantu Israel” dengan kepemimpinan perangnya.

Biden sedang mencoba untuk menavigasi antara Partai Republik dengan pola pikir “Israel benar atau salah” dan Partai Demokrat yang sangat terpecah, kata Aaron David Miller, yang telah memberi nasihat kepada pemerintahan dari kedua partai di Timur Tengah.

Warga AS semakin kecewa dengan operasi militer Israel di Gaza, menurut survei dari The Associated Press dan NORC Center for Public Affairs Research. Pada Januari, 50 persen orang dewasa AS mengatakan respons militer Israel di Jalur Gaza sudah keterlaluan, naik dari 40 persen pada November. Sentimen ini bahkan lebih umum di kalangan Partai Demokrat, dengan sekitar 6 dari 10 mengatakan hal yang sama dalam kedua survei tersebut.

Demo pro-Palestina di New York, 8 Januari 2024. (Foto: Shannon Stapleton/Reuters)

Menghadapi perubahan dalam politik Israel dan AS merupakan tantangan bagi Biden. Karier politik Biden, yang mengklaim sebagai seorang Zionis, dimulai beberapa dekade yang lalu ketika Israel dipimpin oleh para pemimpin liberal dan negara tersebut menikmati dukungan bipartisan yang luas dalam perjuangannya untuk bertahan hidup melawan negara-negara Arab tetangganya.

Sejak itu, kegagalan perundingan perdamaian dengan Palestina dan meningkatnya kekuatan politisi konservatif Israel memicu ketegangan yang semakin besar.

Pujian Biden terhadap Schumer dapat membuat Netanyahu kesal, yang sudah merasa kesal dengan apa yang dilihatnya sebagai campur tangan AS dalam politik Israel.

“Orang akan mengharapkan Senator Schumer untuk menghormati pemerintah terpilih Israel dan tidak meremehkannya,” kata sebuah pernyataan dari Likud, partai politik Netanyahu. “Hal ini selalu benar, dan terlebih lagi pada masa perang.”

BACA JUGA: Blinken: Ada 'Kemungkinan, Urgensi' dalam Pembicaraan Gencatan Senjata di Gaza

Netanyahu memiliki sejarah panjang dalam menentang presiden AS, khususnya presiden Partai Demokrat. Dia menentang desakan Presiden Barack Obama untuk mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran, dan dia menerima undangan Partai Republik untuk berpidato di Kongres guna menunjukkan penolakannya. Sebelumnya, ia berselisih dengan Presiden Bill Clinton mengenai upaya untuk menciptakan negara merdeka bagi warga Palestina, yang telah hidup selama beberapa dekade di bawah pendudukan militer Israel.

Kemarahan Partai Demokrat atas pengepungan Israel di Gaza terfokus pada Netanyahu, perdana menteri terlama Israel yang memimpin koalisi sayap kanan yang mencakup politisi ultranasionalis. Dia juga menghadapi tuduhan korupsi dalam persidangan yang telah lama tertunda dan menurunnya popularitas karena kegagalannya mencegah serangan Hamas atau menjamin kembalinya semua sandera Israel yang ditahan di Gaza.

Survei opini publik menunjukkan bahwa, jika pemilu diadakan sekarang, Netanyahu kemungkinan dikalahkan Benny Gantz, mantan pemimpin militer yang merupakan anggota kabinet perang Israel yang berhaluan tengah.

“Netanyahu berkepentingan untuk mengulur waktu,” kata Gideon Rahat, peneliti senior di Institut Demokrasi Israel dan profesor ilmu politik di Universitas Ibrani. “Itu selalu menjadi kepentingannya, tidak mengadakan pemilu, untuk tetap berkuasa.”

Demo menentang cara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menangani perang Israel-Hamas dan tuntutan pemilu di Tel Aviv, Israel, 17 Februari 2024. (Foto: Leo Correa/AP Photo)

Namun, menggantikan Netanyahu tidak serta merta mengakhiri perang atau menghentikan pergeseran ke arah kanan yang terjadi di Israel selama bertahun-tahun.

Mayoritas warga Yahudi di Israel percaya bahwa penilaian para pemimpin mereka harus diprioritaskan dibandingkan berkoordinasi dengan AS, menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Israel Democracy Institute pada bulan Januari. Selain itu, Pasukan Pertahanan Israel mendapat dukungan luas atas kinerja mereka di Gaza.

Gantz juga mengkritik pernyataan Schumer, meski tidak sekeras yang dilakukan Likud. Dia menulis di media sosial, bahwa senator tersebut adalah “teman Israel” yang “salah dalam pernyataannya.”

“Israel adalah negara demokrasi yang tangguh, dan hanya warga negaranya yang akan menentukan masa depan dan kepemimpinannya,” kata Gantz. “Intervensi eksternal apa pun terhadap masalah ini adalah kontraproduktif dan tidak dapat diterima.” [ah/ft]