Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menjamu Raja Yordania Abdullah II di Washington pada Senin (12/2). Kedua pemimpin diperkirakan akan membahas upaya untuk membebaskan sandera yang ditahan di Gaza, dan meningkatnya kekhawatiran atas operasi militer Israel di kota pelabuhan, Rafah.
Pertemuan tersebut merupakan pertemuan pertama antara kedua sekutu, sejak tiga tentara AS tewas pada bulan lalu dalam serangan drone terhadap pangkalan AS di Yordania. Biden menyalahkan milisi yang didukung Iran atas kematian tersebut. Ini merupakan kematian pertama, setelah serangan kelompok Houthi selama berbulan-bulan, terhadap pasukan AS di Timur Tengah, sejak dimulainya perang Israel-Hamas.
Pertemuan dengan Raja Abdullah II terjadi ketika Biden dan para pembantunya, berupaya menengahi lagi, jeda dalam perang Israel melawan Hamas, untuk mengirim bantuan dan pasokan kemanusiaan ke wilayah tersebut dan membebaskan para sandera.
Gedung Putih menghadapi kritik yang semakin besar dari warga Arab-Amerika karena dukungan pemerintah AS yang terus berlanjut terhadap Israel, dan pada saat bersamaan, terjadi peningkatan korban jiwa di Gaza.
Tampaknya kesepakatan untuk menghentikan pertempuran lagi sudah semakin dekat.
Seorang pejabat senior pemerintah AS mengatakan pada Minggu, bahwa setelah berminggu-minggu melakukan diplomasi dua pihak dan percakapan telepon, sebuah kerangka kerja sudah siap untuk mencapai kesepakatan. Langkah ini bisa mengarah pada pembebasan sandera tersisa yang ditahan Hamas di Gaza, dengan imbalan penghentian serangan Israel.
Pejabat tersebut, yang berbicara tanpa menyebut nama saat membahas negosiasi, mengakui bahwa kesenjangan masih ada tetapi menolak untuk menjelaskan secara spesifik apa kesenjangan tersebut. Pejabat itu mengatakan tekanan militer Israel terhadap Hamas di Khan Younis selama beberapa minggu terakhir telah membuat kelompok militant itu lebih dekat menerima kesepakatan. Potensi tercapainya kesepakatan merupakan tema besar pembicaraan Biden pada Minggu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Pejabat itu mengatakan kedua pemimpin juga saling bertukar pikiran mengenai potensi perluasan operasi militer Israel ke Rafah, dan Biden menegaskan kembali penolakan AS terhadap gagasan tersebut dalam “kondisi saat ini” sementara lebih dari 1,3 juta orang berlindung di sana.
BACA JUGA: Israel Lancarkan Serangan Udara di RafahItu adalah pernyataan paling tegas yang pernah disampaikan presiden mengenai kemungkinan operasi tersebut. Biden, yang pekan lalu menyebut respons militer Israel di Gaza “berlebihan”, juga mengupayakan langkah-langkah “mendesak dan spesifik” untuk memperkuat bantuan kemanusiaan. Stasiun televisi saluran 13 Israel mengatakan, percakapan itu berlangsung selama 45 menit.
Pejabat tersebut mengatakan bahwa Israel “menjelaskan bahwa mereka tidak akan mempertimbangkan operasi” di Rafah tanpa melindungi penduduk sipil. Pejabat tersebut mengatakan bahwa AS tidak yakin ada rencana yang layak atau dapat diterapkan untuk merelokasi warga sipil keluar dari Rafah agar operasi militer dapat dilakukan.
Yordania dan negara-negara Arab lainnya sangat kritis terhadap tindakan Israel dan menghindari sorotan publik terhadap rencana jangka panjang, mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka beralasan, pertempuran harus diakhiri sebelum diskusi semacam itu dapat dimulai. Mereka telah menuntut gencatan senjata sejak pertengahan Oktober ketika korban sipil mulai meroket.
Biden berencana mengunjungi Yordania selama perjalanannya ke Israel pada bulan Oktober tak lama setelah serangan Hamas pada 7 Oktober. Namun lawatan itu dibatalkan. Dalam perjalanan pulang dari Israel, Biden mengumumkan bahwa dia telah membantu menengahi kesepakatan pertama untuk menghentikan sementara pertempuran dan membuka pintu perbatasan Rafah untuk bantuan kemanusiaan.
Beberapa bulan setelahnya, para anggota pemerintahannya berulang kali melakukan perjalanan ke wilayah tersebut untuk bertemu dengan para pemimpin di sana. [ns/lt]